Dua puluh tujuh

3K 386 14
                                    

Waktu sudah menunjukan pukul tujuh malam, namun Haidan masih saja memejamkan matanya di atas sofa, bahkan saat sang Ayah dan juga Nana berpamitan untuk pulang pun Haidan tidak merespon ucapan mereka, ia hanya menggeliat pelan dan kembali memejamkan matanya. Mereka pikir Haidan masih butuh istirahat.

“Bu, Haidan gak dibangunin? udah malem, belum makan loh dia.”

“Iya sih, tapi Ibu gak tega. Pules banget tidurnya.”

Ibu menghampiri Haidan dan mengelus puncak kepalanya pelan. Tanpa diduga, anak itu langsung membuka matanya dan mengerjap pelan. Haidan mendudukan dirinya di hadapan sang Ibu. Ia memijit kepalanya pelan ketika pening itu masih terasa.

“Masih pusing, Nak?” tanya Ibu khawatir.

“Udah gak, Bu. Udah mendingan kok,”

“Makan dulu, ya. Kamu mau makan apa, nanti Ibu belikan sebentar di depan, sekalian ada yang mau Ibu urus.”

“Apa aja boleh, Bu.”

“Ya sudah, Ibu keluar sebentar, ya. Kalau ada apa-apa langsung telfon.”

“Iya, Bu.” sahut Hanan.

Hanan melirik sang kembaran yang masih setia menunduk sembari memijit pelipisnya pelan.

“Dan, masih pusing?” tanya Hanan yang khawatir, apalagi ketika melihat wajah Haidan yang masih terlihat sedikit pucat.

Haidan menggeleng pelan dan berjalan menghampiri Hanan, “udah gak.”

Sontak Hanan mendaratkan punggung tangannya di kening Haidan, “gak panas, sih.”

“Ya 'kan gue bilang udah gak papa.”

Hanan hanya menganggukan kepalanya.

“Dan, lega, 'kan berdamai dengan masa lalu?” tanya Hanan.

“Biasa aja.”

“Dih masih aja lo,”

“Seneng lo, Ayah udah baik?” tanya Haidan.

“Seneng lah, keinginan gue bahkan udah terkabul, Dan. Gue udah berhasil peluk Ayah tadi siang, gue udah ikhlas sih kalau misal—

“Sehat-sehat, Nan. Biar bisa peluk Ayah setiap hari.” celetuk Haidan memotong ucapan Hanan, ia tahu kemana arah pembicaraan Hanan.

“Gue capek, Dan. Tapi gue seneng.”

“Gue seneng Ayah udah baik, udah mau nerima gue lagi, kembaran gue juga udah gak dingin lagi kaya es batu, dan akhirnya kita semua tahu kalau Nana juga anak Ayah. Jujur, gue capek mendem semuanya sendiri, tapi sekarang gue lega.”

“Semoga aja setelah ini gak ada drama-drama lagi ya, Dan.”

Haidan terkekeh, “tapi kayanya ada, Nan.”

“Ya kalau drama yang bahagia sih gak papa,”

‘Drama hidup gue belum berakhir, Nan.’

•••••

“Dengan saudara Haidan,”

Haidan yang sedang duduk terdiam itu langsung berdiri ketika namanya disebut, ia langsung beranjak menuju tempat pengambilan obat. Ya, Haidan baru sempat menebus obat yang diresepkan oleh dokter Tama beberapa hari yang lalu, awalnya ia enggan karena ia masih saja menganggap sakitnya adalah hal biasa, namun lambat laun, ia juga merasa terganggu ketika sakit itu datang dan tidak ada penawarnya.

Haidan tersenyum kepada petugas apotek tersebut dan segera beranjak dari sana, tak lupa ia memasukan bungkusan obat itu kedalam tas kecil yang sengaja ia bawa, ia tidak ingin orang lain melihat obat-obatannya.

Lost | Jeno Haechan✓Where stories live. Discover now