Dua puluh sembilan

3.1K 425 13
                                    

Acara malam ini sudah selesai, mereka semua sudah bisa tertawa dengan lepas, melupakan masa lalu yang pernah menyakiti satu sama lain. Memang terkadang berdamai dengan masa lalu dan diri sendiri adalah cara terbaik untuk menyembuhkan luka, walaupun masih meninggalkan bekas, setidaknya perih itu sudah tak terasa.

Saking bahagianya, mereka tidak menyadari ada satu orang yang sedang menahan rasa sakitnya, ada pula satu orang yang sedang berusaha untuk tetap tenang walaupun hatinya berkata sebaliknya.

“Kapan-kapan gantian kalian yang main ke rumah Ayah, ya!”

Anton menepuk pelan pundak kedua putra kembarnya, keduanya mengangguk.

“Kita pulang, ya. Ibu, makasih ya, makanannya enak!” ucap Nana seraya menyodorkan tangannya di hadapan Ibu, bermaksud untuk menyalaminya.

“Sama-sama, Na. 'kan kamu juga ikut bantuin.”

Tangan mereka melambai, mengiringi kepergian mereka. Senyum Ibu tak kunjung hilang hingga mobil itu keluar dari area rumahnya.

“Anak-anak Ibu hebat. Ibu seneng kalian tumbuh jadi anak yang baik, jangan pernah ada kebencian di hati kalian, ya.”

Keduanya mengangguk, “Ya sudah, kalian istirahat sana. Ibu juga mau ke kamar dulu.”

“Ibu tunggu!” pekik Hanan.

“Kenapa, Bang?”

“Ibu jangan masuk dulu ya, ada yang mau kita bicarain, Bu.” ujar Hanan sembari melirik Haidan yang masih terdiam.

“Besok aja, Bu. Ibu pasti capek, kita juga mau istirahat. Ya, Nan, besok aja. Ayo lo juga harus istirahat. Nanti lo drop lagi.”

Bye Ibu.”

Haidan menarik paksa tangan Hanan menuju kamarnya. Hanan sempat mendengus sebal karena ia tahu Haidan pasti tidak ingin memberitahukan perihal kejadian tadi kepada sang Ibu.

“Maksud lo apa sih, Dan! Gue udah bilang ya, lo hutang penjelasan sama gue, sama Ibu juga.”

“Apa yang harus gue kasih tau, sih. Gue gak apa-apa!”

“Udah kaya gini lo masih ngelak, Dan. Gue gak pernah lihat lo sakit sampai kaya gitu! Gue cuma khawatir sama lo, gue cuma takut lo kenapa-kenapa!”

Haidan menghela napas, ia merebahkan tubuhnya di atas kasur, matanya menerawang, menatap langit-langit kamarnya. Hanan duduk di sebelah Haidan.

“Lo beneran gak mau kasih tau gue? Ya udah, biar gue yang cari tahu sendiri.”

Hanan berdiri dari duduknya, hendak keluar dari kamar sang kembaran. Haidan melihat raut kecewa di wajah Hanan.

“Gue sakit, Nan.” ujar Haidan to the point.

Hanan yang sudah hendak membuka pintu kamar itu pun kembali berjalan ke arah Haidan. Menatap Haidan dengan penuh tanda tanya.

Haidan berjalan menuju lemarinya yang ada di pojok kamar, membuka beberapa laci yang ada di dalamnya dan mengambil amplop berwarna putih berlogo rumah sakit. Ia menyerahkan amplop itu kepada Hanan.

Hanan membuka amplop itu dan membacanya dengan serius, matanya membulat ketika melihat hasil tes Haidan. Ia menatap Haidan, meminta penjelasan tentang semua ini, berharap semua ini hanya bercandaan Haidan saja.

“Dan?” panggil Hanan lirih.

“Iya itu hasilnya,”

“Sejak kapan?”

“Kata dokter udah lama, tapi gue juga baru tau beberapa minggu yang lalu.”

“Lo anggep gue apa sih, Dan? Lo anggep gue orang lain?!”

Lost | Jeno Haechan✓Opowieści tętniące życiem. Odkryj je teraz