Delapan

3.9K 486 16
                                    

Haidan berjalan memasuki rumahnya dengan langkah gontai, ia baru kembali ke rumah tepat pukul sepuluh malam. Masih terlalu awal menurut Haidan. Seperti biasanya, Anton menunggu Haidan di ruang tengah rumahnya, menunggu anak itu kembali. Haidan berdecak malas ketika melihat Anton sudah berdiri di hadapannya dengan tatapan tajam seperti hari-hari sebelumnya.

“Ayah kalau nungguin Haidan cuma buat marah-marah lagi mending besok aja, kepala Haidan sakit, Yah. Pengin tidur.”

“Kamu benar-benar mau ngelawan Ayah, ya?!”

Kali ini nada suara Anton lebih rendah, tidak meniggi seperti biasanya. Namun, tatapan tajamnya masih sama.

“Ayah udah bilang berkali-kali sama kamu, jauhi anak itu. Gak usah lagi berhubungan sama dia!”

“Ayah kenapa, sih. Hanan itu anak Ayah juga, dia kembaran aku, Yah, dalam darah dia mengalir juga darah Ayah disana!”

“Kamu gak tau apa-apa, pokoknya Ayah minta kamu gak usah berhubungan sama mereka lagi!”

“Abang sakit, Yah!!!” teriak Haidan yang sudah tidak tahan dengan perilaku sang Ayah.

“Itu bukan urusan Ayah, saudara kamu sekarang cuma Nana, gak ada yang lain!”
Anton tidak menghiraukan ucapan Haidan, ia segera berlalu masuk menuju kamarnya.

Haidan memandang tubuh tegap sang Ayah dengan napas yang memburu, ia tidak tahu kesalahan apa yang membuat Ayahnya menjadi seperti ini.

“Kalau kaya gini terus mending gue pulang ke rumah Ibu.” lirih Haidan berlalu, ia naik menuju kamarnya yang ada di lantai atas. Ia merebahkan tubuhnya diatas kasur empuk miliknya, matanya menerawang langit-langit kamarnya.

“Segitu bencinya Ayah sama mereka, padahal ini semua bukan kesalahan Ibu, apalagi Hanan yang gak tau apa-apa,” lirih Haidan.

“Argh— kenapa hidup gue jadi rumit gini, sih!”

Haidan memijit pelipisnya pelan, kepalanya terasa pusing memikirkan setiap masalah yang datang. Apalagi serangkaian kejadian hari ini cukup membuat kepala Haidan penuh hingga rasanya ingin meledak seketika. Mulai dari pertemuannya dengan sang Ibu, kondisi Hanan yang ternyata tak sebaik seperti yang ia bayangkan, dan juga kedatangan Tirta ke bascampnya.

•••••

Pagi-pagi sekali Haidan sudah bangun dan bersiap untuk pergi, padahal hari ini adalah hari sabtu, yang artinya ia tidak sekolah. Haidan berniat kembali ke rumah sakit untuk menemani Hanan disana.

“Haidan, mau kemana, Nak, tumben pagi-pagi udah rapi?”

Dibawah sana ada Mama yang sedang membuat sarapan untuk mereka. Padahal Ayah dan juga Nana belum bangun. Rasanya Haidan ingin berlalu begitu saja, namun melihat Mama yang tersenyum sangat tulus membuat hatinya luluh.

“Haidan ada urusan, Mah.”

“Sarapan dulu, ya. Mama siapin dulu,”

“Gak usah, Mah. Haidan makan diluar aja nanti, Haidan pergi ya, Mah”

Haidan berlalu begitu saja, jujur saja hatinya masih sakit mengingat apa yang Mama lakukan terhadap Ibu, namun disatu sisi ia juga menyayangi Mama Rosa dan sudah menganggap Rosa seperti orang tua sendiri.

Haidan langsung menancapkan gas motornya menuju rumah sakit.

Sesampainya disana ia hanya melihat Hanan yang masih tertidur, tidak ada Ibu disana. Haidan menatap Hanan yang tertidur pulas, wajahnya masih terlihat pucat. Ia memutuskan untuk merebahkan tubuhnya diatas sofa, jujur saja ia masih sedikit mengantuk. Bangun pagi ketika weekend itu bukan Haidan sekali.

Lost | Jeno Haechan✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang