Tiga puluh

3.3K 412 8
                                    

Waktu semakin larut, jam yang terletak di atas nakas itu sudah menunjukan pukul satu dini hari. Waktunya semua orang terlelap, bahkan sebagian ada yang sudah menjelajahi mimpinya, namun tidak dengan Hanan yang terlihat masih membuka matanya, ia menyandarkan punggungnya di kepala ranjangnya. Tangannya terlihat mengurut dadanya pelan, rasa sakit yang sudah ia rasakan sekitar satu jam yang lalu itu tak kunjung reda, padahal ia sudah meminum obatnya.

Ia menghirup oksigen dan menghembuskan napasnya pelan, jantungnya berdenyut menyakitkan ketika ia melakukan hal tersebut, membuat ia meringis pelan.

"Lo gak boleh manja sekarang, bukan cuma lo yang butuh perhatian. Inget, adek lo juga butuh, jangan egois." Hanan berbicara sendiri sembari mengusap dadanya pelan.

Hanan menghela napas pelan, "Haidan, maafin gue. Gue gagal jadi kakak yang baik buat lo, gue selalu nyusahin lo gara-gara penyakit sialan ini."

Hanan belum sempat tidur sama sekali, setelah tau apa yang terjadi dengan Haidan. Ia terlihat banyak berpikir, bagaimana bisa ia yang setiap hari tinggal bersama tidak menaruh kecurigaan apapaun terhadap Haidan. Ia akui akhir-akhir ini sang adik memang terlihat lebih pucat dari biasanya, namun ia kira itu hanya sakit biasa.

Hanan terbatuk pelan sembari mencengkram dadanya, ia berusaha menghirup oksigen dan kembali menghembuskannya secara teratur. Setelah dirasa cukup, Hanan memutuskan untuk membaringkan tubuhnya dan berusaha untuk tidur. Ia tidak ingin drop lagi dan malah merepotkan semua orang, terutama Ibu dan juga Haidan, jangan lagi.

•••••

Haidan terbangun di pagi hari, ia keluar dari kamar dan melirik kamar sebelah yang masih tertutup, mungkin Hanan masih tidur. Kaki jenjangnya melangkah menuruni tangga, berjalan menuju dapur untuk mengambil segelas air putih. Matanya melirik ke seluruh penjuru ruangan, tidak ada orang satupun. Mungkin sang Ibu masih ada di dalam kamar.

Haidan kembali melangkahkan kakinya menuju kamar sang Ibu, ia mengetuk pintu itu dengan pelan. Setelah terdengar sahutan Ibu dari dalam, ia membuka pintu itu dan mendapati Ibu yang masih terduduk di atas tempat tidur sembari membaca sebuah buku.

"Ibu, tumben belum turun. Ibu gak papa, 'kan?"

Ibu menutup buku tersebut dan meletakannya di atas meja, "Ibu udah turun tadi pagi, tapi karena kalian juga masih tidur jadi Ibu masuk kamar lagi. Haidan tumben pagi-pagi ke kamar Ibu."

Haidan mendudukan dirinya di samping sang Ibu, "Kangen sama Ibu."

"Mulai deh, manjanya kumat." Ibu mengelus surai hitam milik anaknya dengan lembut.

"Abang mana?" tanya Ibu.

"Belum bangun kayanya, pintunya masih di tutup." Haidan menyandarkan kepalanya dipundak sang Ibu.

"Ya udah, kita ke bawah yuk, bikin sarapan."

"Nanti, Bu. Disini aja dulu,"

"Kenapa, sih?"

"Haidan capek, Bu. Pengin peluk Ibu." Haidan memeluk Ibu dan semakin menenggelamkan wajahnya di sana.

"Haidan kenapa?" tanya Ibu sembari mengelus surai hitam Haidan.

"Kamu sakit?" lanjut Ibu.

Haidan menggeleng pelan, sebenarnya tujuan ia kesini adalah untuk memberitahu Ibu perihal keadaannya. Ia sudah berjanji dengan Hanan bahwa ia akan memberitahu Ibu secepat mungkin. Namun, melihat wajah sang Ibu rasanya ia tidak tega.

Ibu menempelkan tangannya di kening Haidan, "gak panas sih, tapi kok mukanya lemes banget gitu?"

"Gak papa, Bu. Haidan cuma masih ngantuk aja."

Lost | Jeno Haechan✓Where stories live. Discover now