Empat puluh

4K 475 53
                                    

Hari ini tidak ada matahari yang datang menyambut, justru hujan rintik-rintik yang turun sejak subuh tadi masih terdengar, padahal waktu sudah menunjukan pukul sepuluh pagi.

Langit seakan mewakili perasaan seseorang yang berada di dalam ruangan sepi itu, Anton duduk di samping ranjang sang putra yang masih setia memejamkan matanya. Jemarinya masih bertaut dengan jemari milik si sulung yang terasa dingin, padahal ia sudah mengusapnya, berharap bisa mengantarkan sedikit kehangatan kepada pemilik raga itu.

Pagi-pagi sekali, Rika menghubunginya, memberitahu apa yang di sampaikan oleh dokter mengenai kondisi sang putra.

Tidak ada cara lain lagi selain transplantasi jantung, namun saya juga tidak bisa menjamin seratus persen keberhasilan operasi ini, mengingat kondisi Hanan yang memang sudah sangat lemah, justru saya takut nantinya akan berakibat fatal, dan kemungkinan kehilangan dia di meja operasi itu jauh lebih besar.

Operasi yang dilakukannya beberapa tahun lalu itu hanya bertahan sebentar.

Untuk saat ini tidak mudah mendapatkan donor jantung,

Anton mengusap wajahnya frustasi, kata-kata dokter Dimas yang selama ini menangani Hanan itu terus terngiang di kepalanya, membuat ia semakin merasa bersalah setelah apa yang ia perbuat kepada anak sulungnya dulu.

“Hanan, bangun yuk, Nak. Ini Ayah,”

“Katanya kamu mau main ke rumah Ayah sama Haidan. Mau nginep di rumah Ayah,”

“Kamu ngapain di sana, Nak. Betah banget kayanya sampai gak mau bangun sama sekali, emang gak kangen sama Ibu, sama adek kamu juga. Adek lagi sakit loh, Bang. Kasian dia bolak balik kesini terus buat lihat kamu bangun, Bang.”

Hati Anton berdenyut sakit, sepertinya ini pertama kalinya ia berbicara dengan Hanan layaknya seorang Ayah yang berbicara dengan anaknya.

“Hanan, bangun ya. Maafin Ayah,”

Anton menenggelamkan wajahnya di atas bangsal Hanan. Kedua anaknya sakit, dan sakitnya bukan sakit yang sepele, membuat ia sedikit bingung dengan apa yang harus ia lakukan. Hening, hingga akhirnya tangan yang masih berada di genggaman Anton itu terlihat sedikit bergerak.

“Hanan?”

“Hanan, kamu bangun, Nak?!”

Anton berdiri, memperhatikan wajah Hanan yang tampak mengernyit walaupun matanya masih terpejam.

“Oke, pelan-pelan aja ya, Nak.”

Anton masih setia menggenggam tangan Hanan, tangan satunya ia gunakan untuk memencet bel yang ada di atas ranjang sang anak agar dokter segera datang.

“A—ayah.” Hanan mamanggil sang Ayah dengan sangat lirih.

“Iya, Nak ini Ayah, sebentar ya nanti dokter kesini.”

Pintu bercat putih itu seketika terbuka, menampilkan sosok dokter yang berjalan dengan tergesa bersama salah seorang perawat yang mengekor di belakangnya.

“Bapak tunggu di luar sebentar, ya. Biar kita periksa Hanan dulu.”

Anton mengangguk dan berjalan keluar dari kamar rawat Hanan. Rika yang sedari tadi menunggu di depan ruangan itu berdiri dengan cemas.

“Hanan kenapa, Mas?!” tanya Rika kepada Anton yang baru keluar.

“Hanan udah sadar.”

Rika bernapas lega ketika mendengar sang putra sudah membuka matanya. Ia kembali terduduk dan menangis bahagia.

Dokter Dimas keluar bersama dengan perawat yang mengikutinya tadi, raut wajahnya menganggambarkan sesuatu yang sulit di jelaskan.

“Gimana kondisi Hanan, dok?”

Lost | Jeno Haechan✓Where stories live. Discover now