Dua puluh empat

3.2K 402 12
                                    

Entah sudah berapa kali mereka berada di tempat ini dengan keadaan yang sama, menunggu seseorang di dalam sana yang sedang memperjuangkan hidupnya. Mereka tidak bisa berbuat apa-apa, hanya bisa merapalkan do'a, memohon kepada Tuhan agar orang yang mereka sayangi mempu berjuang melewati semua ini.

Haidan masih terdiam, semenjak Hanan masuk ke dalam ruangan itu, Haidan hanya diam dan menundukan kepalanya, ia masih terkejut dengan semua yang terjadi hari ini. Ia bahkan masih ingat bagaimana keadaan sang kembaran ketika berada di perjalanan tadi, rintihan Hanan masih terdengar jelas di ingatannya, bagaimana anak itu begitu tersiksa dengan sakitnya, sungguh Haidan tidak pernah sanggup melihat Hanan seperti itu. Mereka itu kembar, tidak bisakah rasa sakit itu dibagi menjadi dua?

Di samping Haidan masih ada Ibu yang dengan setia berusaha menenangkan sang anak, Ibu mengusap-usap punggung rapuh itu. Haidan berjengit ketika rasa sakit di pinggangnya datang lagi, ia pikir sakit itu sudah hilang karena ia tidak merasakannya dua hari ini, tapi kenapa tiba-tiba datang kembali.

“Kamu kenapa, Nak?” tanya sang Ibu yang melihat Haidan bergerak tidak tenang. Haidan berusaha sekali agar tidak mengeluarkan rintihan akibat sakit itu.

“Gak papa, Bu. Haidan mau ke toilet sebentar, ya, Bu.”

Tanpa menunggu jawaban sang Ibu, Haidan segera berlari menuju toilet, di ujung koridor ia berpapasan dengan Nana dan juga Anton yang baru saja kembali dari kantin, ia hanya berlalu, tidak peduli dengan mereka berdua. Namun berbeda dengan Nana, ia merasa ada yang aneh dengan Haidan. Akhirnya Nana memutuskan berbalik dan mengejar Haidan.

“Papa duluan aja,” ujarnya kepada Anton yang menatapnya heran.

Nana berlari menuju toilet, disana hanya ada satu bilik yang pintunya tertutup, sudah pasti itu Haidan.

“Dan, lo di dalam?” Nana berteriak, mengetuk pintu itu dengan sedikit keras. Tidak ada jawaban dari dalam.

“Lo gak papa, 'kan?” tanya Nana sekali lagi.

Haidan berusaha mati-matian meredam erangannya agar tak terdengar oleh Nana.

“Gue kebelet, Na. Ngapain lo ngikutin gue.”

“Gue khawatir sama lo,”

Kini bukan hanya pinggangnya saja yang sakit, tapi kepalanya juga ikut berdenyut. Haidan menyandarkan punggungnya di tembok, ia berusaha mengatur napas agar lebih tenang. Saat sakit itu perlahan menghilang, ia bangkit berdiri, berusaha sekuat tenaga untuk terlihat baik-baik saja. Apalagi di depan sana ada Nana yang nenunggu.

Haidan membuka pintu toilet tersebut dan langsung disambut oleh wajah khawatir sang adik. Ia sedikit terhuyung ketika masih merasa pusing, sontak dengan sigap Nana langsung menangkap tubuh Haidan sebelum tubuh itu meluruh.

“Eh, Dan! Lo kenapa?”

“Lo masih sakit, ya?” Nana langsung mengecek seluruh tubuh Haidan, dari awal Nana memang sudah curiga dengan kakaknya itu, wajahnya terlihat sedikit pucat, tapi ia pikir mungkin itu karena Haidan memang baru sembuh dari demamnya kemarin.

Haidan menggeleng, “gue gak papa, Na. Cuma agak pusing doang,”

“Tapi muka lo pucet banget, Dan!”

Haidan diam saja, tak berniat membalas ucapan Nana.

“Dan, duduk di depan aja, yuk. Sekalian ada yang mau gue omongin sama lo,”

Haidan pasrah ketika tangannya ditarik oleh Nana, mereka berjalan menuju taman rumah sakit yang ada di depan.

“Mau ngomong apa, Na?”

Mereka berdua duduk di bangku taman tersebut. “Gue minta maaf,” lirih Nana.

“Maafin Mama yang udah masuk ke kehidupan kalian gara-gara kehadiran gue,” sambungnya.

Lost | Jeno Haechan✓Where stories live. Discover now