Tiga puluh sembilan

3.1K 406 13
                                    

Seperti yang telah Nana janjikan sebelumnya, ia akan menemani Haidan untuk bertemu dengan Hanan setelah proses cuci darah Haidan selesai. Tentunya setelah mendapat persetujuan dari dokter Tama dan juga Ibu.

“Pakai kursi roda, Dan! Gak ada penolakan ya, gue gak mau repot gendong lo kalau lo tiba-tiba oleng!”

“Na, gue abis cuci darah, bukan lumpuh. Gak perlu pakai kursi roda gini.”

Nana memutar bola matanya malas, ia menatap sang Kakak heran, entah sejak kapan Haidan menjadi cerewet dan banyak maunya seperti ini. “Pakai atau gak gue ijinin buat ketemu Abang lo?!”

Kini giliran Haidan yang mendengus pasrah, “iya iya oke, gue duduk nih!”

Haidan dengan mandiri mendudukan dirinya sendiri di atas kursi roda yang telah Nana siapkan.

“Nah, dari tadi kek!”

Nana mendorong kursi roda itu menuju ruangan Hanan yang sebenarnya tidak terlalu jauh dari ruang rawat Haidan. Di sana sudah ada Ibu yang sedang menemani Hanan, anak itu masih betah tertidur di atas ranjang pesakitan selama tiga hari terakhir.

“Bentar, Na!”

Haidan memberi kode kepada Nana untuk berhenti sejenak, padahal mereka sudah sampai di depan kamar rawat Haidan. Haidan memejamkan matanya sejenak, berusaha menghirup napas dengan tenang, ingatannya akan Hanan yang tergeletak di lantai kamarnya itu kembali terputar di otaknya, membuat ia sedikit takut untuk melihat Hanan.

“Lo pusing, atau kalau lo emang gak siap, mending kita balik lagi ke kamar.” ujar Nana yang paham dengan sikap Haidan.

“Siap, gue selalu siap kapanpun buat ketemu Abang gue.”

“Ayo, Na.” lanjutnya.

Nana hanya mengangguk dan kembali mendorong kursi roda tersebut masuk ke dalam ruang rawat Hanan.

“Haidan.”

Ibu yang sedang duduk di samping ranjang Hanan itu langsung bangkit berdiri menghampiri Haidan.

“Kamu beneran udah gak papa, Nak?” tanyanya lembut.

Haidan menggeleng, “Haidan gak papa, Bu.”

Haidan menjawab pertanyaan sang Ibu, namun matanya fokus kepada sosok yang masih terbaring dengan menggunakan alat bantu pernafasan tersebut.

“Abang.” gumamnya lirih.

Nana mendekatkan kursi roda Haidan ke arah ranjang Hanan.

“Bu, Na, boleh keluar sebentar gak? Haidan mau ngomong berdua sama Hanan.”

Haidan meminta hal tersebut seolah-olah Hanan itu ada dan dalam keadaan sadar. Ibu dan juga Nana yang mengerti akan hal tersebut hanya mengangguk dan segera berjalan keluar dari ruangan tersebut. Setelah Nana dan juga Ibu keluar, Haidan mendekatkan wajahnya ke arah Hanan. Menatap lekat wajah tampan sang kembaran yang masih setia memejamkan matanya.

“Abang?” panggil Haidan lirih, ia menggenggam tangan Hanan yang terbebas dari infus.

“Kenapa jadi kaya gini, hm? Kapan Abang mau bangun?”

“Kemarin gue mimpi lagi duduk berdua sama lo, katanya lo pengin gue panggil Abang lagi kaya dulu waktu kita kecil. Ayo bangun, gue janji deh bakal selalu panggil lo Abang. Bukan pas ada maunya doang,”

“Bang, betah banget sih di sana, sampai gak mau bangun sama sekali. Udah tiga hari lo merem.”

Haidan mengusap pipinya sedikit kasar ketika merasakan cairan bening itu mengalir dari kedua sudut matanya.

Lost | Jeno Haechan✓Where stories live. Discover now