Tiga puluh lima

3K 412 16
                                    

“Dok, gak ada paket cuci darah yang lebih enakan dikit, ya?”

Haidan tidak berbohong, rasanya memang sungguh tidak enak. Bahkan hingga sekarang, setelah satu jam yang lalu ia menyelesaikan proses cuci darahnya, ia masih merasakan efek sampingnya.

Nana menepuk lengan Haidan pelan, “enteng banget ya kalau ngomong.”

Dokter Tama hanya terkekeh melihat kelakuan dua saudara tersebut.

“Beneran, dok. Sekarang aja saya masih mual.”

“Gak papa Haidan, itu normal kok. Semua orang yang melakukan cuci darah pasti merasakan seperti itu.”

“Makanya kalau disuruh istirahat itu nurut, kelayapan terus tuh, dok.” celetuk Ibu yang sedari tadi diam.

“Inget badan, Haidan. Tubuh kamu udah gak sekuat dulu, kalau kamu bandel ya kamu yang ngerasain sendiri akibatnya.”

“Iya dok, iya.” jawab Haidan pasrah.

“Buat saat ini keadaan kamu stabil, kedepannya banyakin istirahat ya sama jangan lupa minum obatnya. Tiga hari lagi kamu cuci darah lagi.”

“Hah, kok lagi, dok?”

“Saya bikin jadwal satu minggu dua kali, kalau kamu masih bandel saya tambah jadi tiga kali.”

“Ya Ampun, lama-lama abis badan gue.” gumam Haidan.

“Makanya kalau berobat itu yang bener, nurut kek!” lagi dan lagi Nana mengomel, membuat Haidan mendengus sebal dengan kelakuan adiknya itu.

“Ya sudah, saya permisi. Kalau ada apa-apa pencet saja belnya, ya.”

“Makasih, dok.”

“Tuh, dengerin!” celetuk Nana, entah kenapa ia merasa kesal jika melihat Haidan yang masih saja bersikap baik-baik saja, padahal sudah jelas jika sakitnya itu bukan sakit yang sepele.

“Iya, Na iya. Lo kenapa sih, udah tau gue sakit malah diomelin mulu. Bukannya diperhatiin.”

“Ya lo bikin kesel mulu,”

“Udah-udah jangan ribut terus, Nana itu khawatir sama kamu, Dan.” cela Ibu meluruskan perdebatan yang tak penting.

“Iya khawatir sih khawatir, Bu. Tapi dia kaya anak cewek yang lagi pms, marah-marah mulu.”

“Ngomong sekali lagi coba?!”

“Tuhkan, Bu!”

Merasa kesal, Nana bangkit dari duduknya dan berpindah ke sofa panjang tempat dimana Hanan tertidur pulas.

“Abang masih tidur?” tanya Haidan yang baru sadar jika sang kembaran masih tertidur pulas di atas sofa, bahkan ia tak terusik sama sekali oleh keributan mereka berdua.

“Masih tuh, biarin aja, biar istirahat. Di suruh pulang dulu gak mau.”

“Aku ngrepotin banget ya, Bu.”

"Kata siapa, gak kok, Nak. Ibu malah seneng dikasih kesempatan buat ngerawat anak-anak Ibu. Tapi tetep aja, Ibu mau anak-anak Ibu itu sehat semua. Makanya kamu semangat buat sembuh, ya.”

Haidan tersenyum, seharusnya dia yang paling bersyukur bisa kembali bersama dengan Ibu. Ia tidak bisa membayangkan jika semua ini terjadi dan tanpa ada Ibu disampingnya, mungkin ia sudah mati terlebih dahulu.

“Ibu keluar dulu, ya. Ada yang mau Ibu urus sebentar, kamu istirahat aja.”

Ibu mengelus puncak kepala Haidan dan beranjak keluar.

“Na, lo gak pulang dulu? Pasti lo juga capek, 'kan dari kemaren bolak-balik nemenin gue disini.”

Haidan menatap sang adik yang sedang sibuk dengan ponselnya. Nana yang merasa diperhatikan itu seketika menoleh, meletakan ponselnya di atas meja, “kalau gue pulang, yang jagain lo siapa?”

Lost | Jeno Haechan✓Where stories live. Discover now