Tiga puluh satu

3K 401 14
                                    

Sebagai seorang Ibu, hati Ibu mana yang tidak ikut sakit melihat anaknya terbaring lemah seperti ini. Apalagi Hanan, bukan sekali dua kali anak itu sakit. Ibu memperhatikan kedua anaknya dalam diam, Hanan baru saja tertidur, sedangkan Haidan sedang asik bermain ponsel di samping sang kembaran.

“Haidan, Abang udah tidur?”

Haidan yang sedang duduk itu menoleh, “udah, Bu. Tadi katanya pusing, makanya aku suruh Abang tidur.”

“Ya sudah, biarin Abang istirahat dulu. Haidan keluar, yuk. Temenin Ibu.”

Haidan hanya mengangguk dan menyusul Ibu yang sudah berjalan terlebih dahulu. Ternyata Ibu mengajak Haidan untuk duduk bersama di ruang tengah rumah ini. Haidan duduk di samping Ibu yang sudah terlebih dahulu mendudukan dirinya di atas sofa.

“Kenapa, Bu?”

Ibu menarik tangan Haidan, mengusap tangan itu dengan penuh kasih sayang.

“Haidan, Ibu bersyukur banget punya anak seperti kalian berdua. Kalian itu anak baik, anak hebat, anak kuat. Maafin Ibu ya, dari kecil kalian gak pernah dapat kebahagiaan seperti apa yang seharusnya kalian terima.”

“Dari kecil, Ibu selalu ajarin kalian untuk jadi anak yang jujur, sekecil apapun itu jangan pernah berbohong kepada orang lain. Tapi, hari ini Ibu sadar, kalian berdua sudah dewasa, sudah bisa membuat keputusan sendiri, sudah tau mana yang baik dan mana yang benar.”

Haidan hanya diam mendengarkan setiap ucapan sang Ibu yang memang benar adanya, walaupun sebenarnya ia tidak paham apa maksud dan tujuan Ibunya membicarakan hal seperti ini.

“Haidan, kamu sakit, Nak?” tanya Ibu menatap Haidan.

Mata indah itu seketika membulat, “maksud Ibu? Aku gak papa, Bu. Hanan yang sakit.”

“Haidan,” Ibu menatap Haidan lebih dalam, berusaha mencari jawaban dari mata anaknya.

Haidan mengadahkan kepalanya ke atas, berusaha menetralkan matanya yang sudah terasa panas. Sepertinya sang Ibu mendengar percakapannya dengan Hanan tadi.

“Maafin Haidan, Bu.”

“Kamu sakit apa, Nak? Kenapa selama ini Ibu gak tau,” lirih Ibu.

“Ada masalah sama Ginjal Haidan Bu. Tapi gak papa, Haidan masih kuat.”

“Maafin Haidan, Bu. Haidan gak bermaksud nyembunyiin ini semua dari Ibu, Haidan cuma gak mau bikin Abang sama Ibu khawatir, Haidan takut kalau Hanan jadi kepikiran masalah ini.”

“Sejak kapan, Nak?” tanya Ibu lirih.

“Lumayan lama, Bu. Tapi Haidan juga baru tahu pas Abang dirawat kemarin, Bu.”

Ibu langsung membawa Haidan ke dalam pelukannya, mengusap punggung anaknya yang ternyata rapuh itu.

“Maafin Ibu, Nak. Ibu gagal jadi Ibu yang baik buat kamu,”

Haidan menggeleng, masih dalam pelukan sang Ibu, “gak, Bu. Semua ini memang salah Haidan sendiri.”

Ibu menggeleng, air matanya langsung tumpah sejak ia memeluk anak bungsunya itu, “semua ini salah Ibu, Nak. Maafin Ibu.”

“Nanti kita ke rumah sakit, ya. Kita periksa, Ibu pengin tau gimana kondisi kamu.”

“Haidan gak papa, Bu.”

“Gak papa gimana, sakit kamu itu bukan sakit yang sepele Haidan!”

“Bu, Haidan masih kuat selagi masih ada Ibu sama Abang.”

“Kenapa sih, Dan kamu itu selalu nyimpen semuanya sendiri, ada Abang sama Ibu, ada Nana juga, jangan tanggung semua beban kamu sendirian, Nak.”

Ibu mengusap punggung Haidan dengan lembut, sedangkan Haidan hanya tersenyum mendengar ucapan sang Ibu, ia sendiri pun bingung harus menjawab apa.

Lost | Jeno Haechan✓Where stories live. Discover now