17. Kilas Balik 2017

4.1K 271 7
                                    

Chappter ini mengandung flashback! Tapi aku gak miringin tulisannya karena emang semuanya full masa lalu, jadi takutnya mata kalian sakit bacanya.

Enjoy ya..

Happy Reading-!!!

...

"Disertai rintik hujan di ujung bulan, aku mengingatmu sebagai pertemuan yang paling membuatku ketagihan"

...

Jakarta, 5 Oktober, 2017

Saat ini Bernessa tengah berada dilantai paling atas rumah sakit, tepatnya di rooftop. Ntah apa yang membawanya kesini, ia juga tidak tau. Tubuhnya seolah mengambil alih semuanya, tanpa berpikir apa-apa.

Bernessa memejamkan matanya lelah, menikmati semilir angin yang menerpa seluruh wajahnya. Mendongakkan pandangannya keatas, ia menatap langit-langit yang tampak mendung, tapi masih terlihat sangat indah karena ditemani sebuah bulan sabit yang sangat cantik dan memancarkan cahaya yang terang.

Bulan yang sangat sempurna.

Walaupun tampak menikmati semua keindahan langit, tapi saat ini pikirannya sedang berkelit.

Salah satu masalah yang dari dulu sama sekali tidak pernah dapat ia selesaikan atau tuntaskan. Bahkan untuk tau awal dari masalah ini saja ia tidak tau. Mulai dari ayah dan bundanya yang tidak pernah memberikan perhatian dan selalu benci kepadanya, tidak pernah memperlakukannya layak seperti seorang anak pada umumnya, selalu menyakiti baik mental maupun fisiknya. Dan yang terakhir selalu dikatai sebagai seorang pembunuh.

Ia saja tidak tau, siapa orang yang selama ini telah ia bunuh.

Belum lagi memiliki kedua kakak yang sama sekali tak pernah peduli tentang apapun yang ayahnya lakukan padanya. Sungguh benar-benar melelahkan.

"Capek.." gumam Bernessa pelan.

"Aku pengen dibela sekalii ajaaaa, sama, kakak.." matanya menerawang jauh kedepan.

"Tapi kakak aku kan gak pernah peduli.." kekehnya tertawa sumbang.

"Yang satu cuek, yang satu provokator.." decaknya.

Bernessa tau, bukan hanya ia seorang yang memiliki masalah keluarga seperti ini. Tapi banyak orang diluaran sana yang lebih parah, lebih menderita, lebih tersakiti darinya.

Tapi disatu sisi, Bernessa juga ingin bahagia. Ia ingin disayang, ingin dimanja seperti teman-teman disekolahnya. Yang setiap hari diantar oleh kedua orang tuanya, setiap pagi dibuatkan bekal, setiap pagi diberi uang jajan. Ah sepertinya angannya terlalu tinggi. Ia tidak boleh terlalu banyak berharap. Karena semesta belum tentu mengizinkannya untuk bahagia.

Pandangannya beralih kearah paha putihnya. Disitu tampak terlihat sangat jelas ada luka memar kebiruan. Luka yang baru saja ia dapatkan tadi pagi sebelum berangkat sekolah. Siapapun yang melihat itu pasti akan bergidik ngeri karena tampak jelas sekali. Tapi untungnya luka itu tertutupi oleh rok biru sekolahnya dan juga gelapnya malam yang membuat luka itu terlihat samar.

Beralih lagi kearah pergelangan tangan kirinya. Dibagian ini hanya terdapat luka-luka sayatan saja. Ada yang sudah kering dan ada yang juga masih basah. Bagi sebagian orang pasti tidak akan ngeuh jika ada luka ditangannya karena terlihat sangat tipis. Tapi yang tipis itu rasanya lebih sakit dan perih, dibandingkan yang besar. Oleh karena itu Bernessa lebih suka menyayat-nyayat tangannya sendiri. Karena menurutnya, dengan cara melukai fisiknya, luka yang dihatinya akan dapat teralihkan walaupun hanya sekejap.

NAJESATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang