Chapter XLVII : Tentang Dea

62 6 1
                                    

"Tak semua orang bisa mengungkap luka yang ada di dirinya, karena membagi luka sama saja dengan membukanya di saat luka itu hampir sembuh."

🥀

Adya dengan terpaksa harus menjalani kemoterapi, sekarang dia sudah istirahat setelah menjalani beberapa prosedur.

Walau kepalanya sudah tidak sakit lagi, tapi tubuhnya sekarang terasa sangat lelah, dia merasa sangat lemas.

Gadis itu hanya mangut-mangut sebagai respon kepada Yuda yang menasehatinya. Dia menatap Omnya yang dengan telaten memeriksa kondisinya.

Di kamar inap gadis itu masih ada Lila, Alden, Xavier dan Yuda, sedangkan Toni sudah pergi untuk bekerja hari ini.

"Jaga diri kamu baik-baik," pesan Yuda sebelum meninggalkan kamar inap Adya.

Setelah Yuda keluar, berganti Leon yang masuk ke kamar inapnya. Laki-laki itu menatap tajam sekaligus khawatir pada Adya.

"Sampai kapan?" Tanyanya yang sudah berdiri di samping Adya.

Adya mengangkat sebelah alisnya.

"Sampai kapan lo mau kaya gini? Sampai kapan lo mau bertindak bodoh seperti ini? Sampai lo mati?!" Bentak Leon sudah tidak mengerti lagi bagaimana jalan pikir sepupu perempuan satu-satunya itu.

"Lo mikir gak kalau lo bisa mati, hah?! Lo bisa aja kehilangan nyawa lo cuman karena ini! Kenapa lo terus kaya gini?! Kenapa lo selalu mementingin om Alex?!"

"Shut up," henti Adya, dia sedang tidak ingin berada mulut apalagi dengan sosok Leon.

"Cape? Lo cape?! Kenapa lo terusin?! Gue gak peduli kalau lo pengen berada di peringkat pertama, gue gak peduli seberapa peduli lo sama Om Alex. Tapi, please, STOP! Kesehatan lo lebih penting sekarang, lo nyakitin diri lo sendiri," ucap Leon, dia menunjuk bahu Adya, lalu melanjutkan ucapannya, "berhenti, berhenti egois sama diri lo sendiri! Berhenti belajar tanpa tau waktu!"

"Gue pengen berada di peringkat paralel, gak... gue harus berada di peringkat—"

"APA YANG LO HARAPIN, SIH?! KASIH SAYANG OM ALEX?! LO MAU MENJADI SEMPURNA?! LO GAK BAKAL BISA, BEGO! GAK AKAN PERNAH!" Hardik Leon sudah sangat lelah menghadapi Adya.

"Salah? Salah gue ngeharapin kasih sayang Papah? Kenapa lo nganggep gue gak bakal dapat kasih sayang Papah? Gue pasti bisa dapet—"

"Sadar Adya! Lo gak bisa terus memenuhi keinginan om Alex, lo bukan robot, cukup! Sekarang lo harus fokus sama kesehatan lo," ucap Leon.

Adya menggeleng, dia menatap sayu sepupunya. "Gue gak akan berhenti, gue gak bisa."

"Kenapa gak bisa?! BERHENTI EGOIS! STOP MELAKUKAN HAL BODOH, ADYA! KENAPA LO SELALU MENDAHULUKAN OM ALEX?! BERHENTI ADYA, BERHENTI!"

"Dokter Leon, cukup." Lila yang melihat Adya terus ditekan oleh Leon lantas menghentikan dokter itu. Adya bisa stres.

"GUE GAK BISA!"

"KENAPA? JAWAB GUE! KENAPA?!"

"KARENA KALAU GUE BERHENTI, DUNIA GUE JUGA BAKAL BERHENTI! GUE BAKAL KEHILANGAN LO SEMUA! GUE BAKAL SENDIRIAN, BANG!"

Hati Leon terasa mencelos, jantungnya berpacu. Ia menatap Adya bingung. "Apa maksud lo?"

"Kalau gue gak berhasil, gue bakal pindah ke Sydney... dan seperti yang lo tahu, gue gak akan bisa lagi balik ke Indonesia," terang Adya membuat Leon tidak bisa mengatakan apa-apa lagi.

Leon tahu, sangat tahu jika Adya pergi ke Sydney maka gadis itu tidak akan diizinkan oleh nenek gadis itu untuk kembali ke Indonesia.

Lila menarik Adya kedalam pelukannya, gadis itu memiliki terlalu banyak luka, terlalu banyak rahasia yang dia pendam.

Who is she? [TAMAT]Where stories live. Discover now