Chapter LI : Akhir dari Ujian

50 6 0
                                    

"Jangan hanya karena banyaknya kesalahannya kamu lupa bahwa dia pernah memberimu kebaikan."

🥀

9 April 2024

Tidak terasa hari perjuangan telah berakhir, pagi ini Adya sudah duduk di meja makan bersama Alex, Ririn, Nino, dan Brisia. Hanya ada suara dentingan garpu ataupun sendok yang menghantam piring.

"Nino, om hari ini—"

"Gak perlu," potong Nino dengan cepat. Dia tahu Alex ingin mengajaknya ikut pria itu kesekolahnya.

"Lo ikut sama gue aja," tawar Adya sambil meminum air putih tanda dia telah selesai makan.

Nino bingung, tapi dia menatap Brisia yang mengangguk dan menyuruhnya untuk ikut, Toh jalannya searah.

"Ya udah, kalau gitu Brisia, Kak Adya sama Nino pamit ya Bund, Om," pamit Brisia yang sampai hari masih memanggil Alex dengan panggilan Om.

Adya menyetir mobil dengan Brisia di sampingnya dan Nino duduk dibelakang.

"Tumben ngajak gue?" Tanya Nino bingung, selama ini Adya selalu bersikap acuh terhadapnya jadi dia lebih sering naik angkot.

"Yang sopan, No," tegur Brisia ketika bertanya pada Adya tanpa embel-embel kak.

"Gak papa," ucap Adya sambil melirik sekilas pada Brisia, dia saja tidak sopan pada Leon selama ini jadi menurutnya tidak aneh jika Nino sama sepertinya. "Gue ngajak lo karena tau Papah bakal maksa dan lo gak bakal nyaman sama Papah," lanjut Adya membuat Nino mangut-mangut saja.

"Iya sih," gumam Nino dengan suara kecil namun dapat di dengar Adya.

"Gue tau lo gak suka sama Papah, tapi perlu lo tau kalau Papah yang ngebiayain hidup lo ataupun ibu lo." Adya tidak menyuruh Nino untuk menyukai Alex, karena dia jelas tahu apa yang membuat Nino membenci Papahnya.

"Terus?"

"Paling gak lo hormatin Papah sedikit aja. Papah emang jahat dengan ngebuat bokap lo sakit, tapi Papah yang bikin kalian bisa hidup kaya sekarang. Bahkan sekolah lo sampai kuliah udah terjamin sama Papah." Adya menjelaskan dan sepertinya Nino memiliki karakter sama seperti ibunya.

Mereka akan mudah luluh jika menggunakan alasan yang logis.

Mobil mewah itu berhenti di depan sekolah negri. "Gak mau turun lo?" Tanya Adya menyadarkan Nino yang sempat melamun.

Remaja SMP Negri itu segera turun dari mobil, dia tersenyum tipis pada Brisia dan Adya. "Makasih, kak!" Serunya berjalan meninggalkan mobil Adya yang kembali berjalan menuju VHS.

"Nin, itu lo naik mobil semewah itu?!"

Nino terlonjak kaget ketika sebuah suara bernada tinggi tiba-tiba terdengar. Dengan kesal dia menyentil dahi sahabatnya itu.

"Suara lo kaya toa mesjid!" Kesal Nino.

"Mending langsung ke kelas, gak usah mikirin tu mobil sapa,"ajak Nino menarik sahabatnya satu itu.

"Ya elah, Nin. Kalau lo punya sugar mommy sabi kali bagi—"

"SEMBARANGAN LO!" Sentak Nino semakin kesal.

Tawa Abdi —sahabat Nino— seketika mengudara, dia menampar-nampar bahu Nino kencang.

"Gue becanda doang," gelaknya membuat Nino ikut tertawa kecil. Ngapain dia nganggep Abdi serius coba?

"Stt," ringis Adya ketika merasakan kepalanya seperti ditusuk-tusuk.

Dia memijit pelipisnya pelan, sebentar lagi dia selesai, dia harus bertahan.

KRING!

"Damn!" Umpat gadis itu ketika layar komputer mati sepenuhnya, masih ada 2 soal yang belum terjawab.

"Ad," Xavier yang sudah sejak tadi mengawasi Adya segera mendekatinya. Dia kaget ketika melihat wajah Adya yang sudah sangat pucat.

"Kita kerumah sakit sekarang!" Putusnya langsung menggendong tubuh Adya dan membawanya ke mobil gadis itu, Xavier pergi ke sekolah menggunakan motor.

Dia melajukan mobil Adya dengan kecepatan tinggi, sepertinya Adya kambuh karena sudah dua minggu tidak melakukan kemo ataupun radioterapi.

Selama perjalanan Adya terus mengerang merasakan sakit luar biasa pada kepalanya. "Please tetep sadar, Adya!" Harap cemas Xavier dengan menggengam tangan kanan Adya.

Tangan sebelah kiri gadis itu dia gunakan untuk menarik rambut yang menempel pada kepalanya.

Xavier terbelalak kaget melihat rambut yang ada dikepala Adya lepas. "AKH! SAKIT, XAV!" Jerit Adya membuat Xavier kembali menatap ke depan.

Ketika mobil sudah berada di pekarangan rumah sakit, dia dengan cepat menggendong Adya yang mencengkram kepalanya kesakitan.

Adya ditangani segera oleh Yuda, terlihat jelas raut kekhawatiran diwajah sosok Omnya Adya.

"Gue mohon jangan pergi, tetep di sini, Ad."

Ribuan doa dia langitkan untuk gadis yang sekarang sedang menjalani pengobatannya di dalam sana. Bara keluar dari ruang tersebut sambil membawa Adya yang terbaring lemas di atas brankar.

"Panggil Leon, pinta dia untuk menandatangani surat persetujuan atas nama saya, Adya harus menjalani operasi secepatnya."

Suster yang sejak tadi berada di samping Yuda mengangguk, dia berjalan cepat menuju ruangan Leon.

"Om, apa yang terjadi sama Adya?" Tanya Xavier mencegat Yuda yang akan masuk ke ruang operasi.

"Doakan dia, semoga operasinya berjalan lancar," ucap Yuda setelahnya meninggalkan Xavier yang terdiam di tempatnya.

Dia mengacak rambutnya frustasi, dia tidak akan pernah rela jika Adya kenapa-napa, Adya harus sembuh. Dia ikut merasakan sakit gadis itu ketika mengingat bagaimana Adya tadi mengerang kesakitan di sampingnya.

Tuhan, kenapa kau memberikan Adya hal yang begitu menyakitkan untuknya? Kau sudah memberikannya luka hati, mengapa kau tambah dengan luka fisik juga? Batin lelaki itu sambil menutup wajahnya sendiri dengan kedua telapak tangannya.

Bahunya bergetar, dia hanya ingin satu, Adya selalu baik-baik saja. Bahunya tiba-tiba di tepuk dua kali.

"Kita doain agar Adya tetap baik-baik aja," ucap Arion.

Viola memeluk Ryan erat, dia menangis kencang takut akan kemungkinan-kemungkinan buruk. "Adya pasti baik-baik aja," kata Ryan mencoba menenangkan Viola.

Tidak terasa sudah dua jam Adya berada di ruang operasi, mereka ber-empat terus melangitkan doa agar gadis itu baik-baik saja.

Leon sudah ada di sana, ikut menunggu operasi Adya. Dia cukup kaget ketika tadi mendapat kabar dari salah satu suster bahwa Ayahnya -Yuda- menyuruhnya untuk menandatangani surat operasi, ternyata Adya drop yang membuatnya harus menjalani operasi segera.

Dia mencoba menenangkan dirinya sendiri yang kalut, harusnya dia terus mengingatkan Adya untuk tidak terlalu memaksakan dirinya untuknya belajar.

Akhirnya setelah 3 jam berlalu Adya dibawa keluar.

"Beberapa jam lagi Adya bakal sadar, kalau dia sadar langsung panggil saya." Pesan Yuda diangguki mereka yang ada di sana.

"Leon, urus pasien kamu. Setelah selesai kamu bisa menjaga Adya," tegas Yuda yang dengan berat hati Leon turuti. Dia ingin menjaga Adya tapi dia juga memiliki kewajiban terhadap pasien-pasiennya.

Xavier hanya bisa terus menunggu sampai kedua mata Adya terbuka. Dia terus berdoa agar kondisi Adya membaik.

🥀

Gw pen cepet" namatin ni cerita sumpah🥱

Who is she? [TAMAT]Where stories live. Discover now