Chapter XLVIII : Hari Ujian

55 5 0
                                    

"Takdir adalah hal yang tidak bisa diganggu gugat, dan menerima takdir adalah satu-satunya cara agar tidak terasa berat."

🥀

27 Maret 2024

Setelah beberapa hari, Adya akhirnya kembali ke rumahnya. Ketika sudah berada di depan rumah terdengar helaan nafas dari gadis itu.

Ini rumah gue, gue ga boleh pergi cuman karena mereka. Di sini terlalu banyak kenangan, tekad Adya dengan melangkah mantap menuju rumahnya.

Tanpa mengetuk ataupun menekan bel, dia membuka pintu dan langsung berjalan ke arah lantai atas.

"Adya?" Panggil Ririn menghentikan langkah gadis itu.

"Akhirnya kamu pulang—" ucapan dari yang belum selesai terpotong.

"Gak usah sok peduli," ketus Adya segera berlalu dari sana.

Gadis itu berjalan melewati dua kamar tamu yang mungkin sekarang ditempati Nino dan Brisia, dia juga melewati kamar utama lalu baru dia sampai dikamarnya. Disebelah kamarnya terdapat kamar Rio yang kemungkinan besar di tempati oleh Alex dan Ririn.

Ketika dia masuk, kamarnya sama seperti dia pergi. Sepertinya Ririn cukup tahu diri untuk tidak masuk ke dalam kamar bernuasanya langit malam itu.

Adya segera merebahkan tubuhnya ke kasur, tapi tidak lama dia bangun dan duduk menghadap kaca full body yang ada tepat di samping kasur.

Tatapannya jatuh pada wajahnya sendiri yang begitu pucat. Dengan gerakan kecil tangannya bergerak menyentuh rambutnya, lalu menarik rambut itu agar terlepas dari kepalanya. Ya, dia mengenakan wig.

Setelah melepaskan wig yang ada di kepalanya, Adya menyisir rambutnya dengan jari-jari tangannya. Rambutnya yang sudah sangat tipis itu terlihat menempel pada jarinya-jarinya.

Tangannya bergetar, air matanya jatuh melihat banyaknya rambut rontok. Rambutnya yang dulu tebal sekarang sudah sangat tipis. Adya mengambil gunting yang ada di kamarnya, dia mengarahkan gunting itu ke kepalanya.

Namun Adya tidak sanggup, ini terlalu menyakitkan.

Pintu tiba-tiba terbuka, namun Adya tidak menyadarinya. Sedangkan sosok yang membuka pintu tanpa mengetuknya terbelalak melihat Adya yang sudah menangis di sisi kasur.

Tanpa mengatakan apapun dia menutup pintu dan langsung mendekap Adya erat.

Merasakan sebuah dekapan membuat Adya semakin menangis kencang, dia tidak bisa menutupi kesedihannya.

"Gak papa, dek. Nangis aja," ucap Leon menepuk-nepuk pundak Adya.

"Sakit, bang. Sakit," tangisnya, dia sekarang hanya ingin bisa menangis sekencang-kencangnya, dia lelah.

"It's okey, semuanya bakal baik-baik aja, dek."

Dia merenggangkan pelukannya pada Adya, lalu membuka alat cukur yang dia bawa untuk Adya. Dia memang hari ini ingin membantu sepupunya itu untuk— mencukur rambutnya.

"Adya, apa boleh gue. . ?"

"Selesein secepatnya," potong Adya mencoba mengikhlaskan rambutnya.

Leon lantas mengangguk, dia membantu Adya berdiri lalu mulai menyalakan alat cukur itu. Air matanya Adya kembali luruh, dia menatap Leon yang mulai mencukur sisi kanan kepalanya.

Dadanya terasa sangat sesak bak dipimpin batu melihat helaian rambutnya yang jatuh menyentuh lantai. Mah, lihat, rambut Adya udah gak bisa lagi diusap, rambut Adya udah Adya habis, Mah. Adya terpaksa mencukurnya karena penyakit ini, batin Adya nestapa.

Who is she? [TAMAT]Where stories live. Discover now