chapter 1

801 30 6
                                    

Assalamu'alaikum.

Sebelumnya saya mau ucapkan terimakasih banyak buat kalian yang berkenan membaca story saya ini.

Saya pengen tahu kalian dapat cerita ini dari mana?

Semoga kalian suka ya. Jangan lupa buat komentar dan kasih bintangnya. Biar saya makin semangat update.

Oh, ya cerita ini juga saya up di KB* dan di sana part nya sudah panjang. Bagi yang punya aplikasi tersebut bisa juga baca di sana ya. Karena di sini saya up seminggu dua kali. Tiap hari senin dan kamis.

Happy Reading😘😘😘


Dadaku seketika memanas pagi ini. Bagaimana tidak, saat ini di depanku, seorang lelaki segar bugar tapi berkelakuan aneh sedang berkeliaran. Disini, di rumahku. Lelaki berpenampilan layaknya gelandang itu tanpa malu kembali. Rambutnya awut-awutan, badannya dekil, wajahnya menghitam karena mungkin sering terkena paparan sinar matahari. Ia tak pernah mandi, tak pernah keramas apalagi sisiran. Ia hanya sibuk dengan dunianya sendiri. Seolah tak menghiraukan ku lelaki itu terlihat begitu menikmati satu kepal nasi. Cih, aku berdecih tak suka.

Prang!!

Dengan kasar piring berisi nasi separuh itu sengaja ku lempar. Mengakibatkan isinya berhamburan ke lantai seketika. Dengan berkacak pinggang dan emosi yang tak lagi dapat ku tahan, aku berteriak padanya,

"Kenapa datang lagi?! Hah? Pergi!!" Hardikku kalab.

Tetapi lelaki yang ku bentak itu menanggapinya datar. Matanya kosong, ia malah berjongkok memunguti sisa nasi lalu tanpa jijik langsung memasukan ke mulutnya lagi.

"Jangan di ambil!!" Dengan kasar tangannya ku pukul. Mungkin karena sakit, lelaki tanpa baju atasan itu berjengkit. Ia lalu menatapku sejenak tapi tatapannya tetap kosong.

"Nduk. Sari. " Suara Ibu terdengar panik, muncul dari pintu. Ia yang baru datang dari rumah Bulek Sri. Perempuan yang wajahnya terlibat tua di banding usianya itu lalu berjongkok, mensejajari pria itu.

"Siapa yang bawa dia kemari, Bu? Sari sudah bilang, Sari nggak mau ketemu dia lagi! " Jeritku melampiaskan kekesalan.

Ibu tak menjawab pertanyaanku, ia sibuk memapah lelaki itu untuk duduk di kursi kembali. Kemudian melangkah ke dalam dan keluar sembari membawa sepiring nasi, kali ini lengkap dengan air putihnya. Membuatku mengepalkan tangan demi menahan emosi.

"Kamu sudah makan, Nduk? " Ibu menghampiriku setelah keadaan hening beberapa saat. Aku tahu wanita ini sedang berusaha mengalihkan pikiranku.

"Ibu ambilkan ya. Tadi Ibu masak sayur gori kesukaan kamu." Sambungnya lagi karena aku tak menjawab pertanyaannya.

Mataku masih fokus menatap lelaki itu. Ia tengah sibuk dengan nasi dan sayur gori di hadapannya. Seolah peristiwa tadi tak pernah terjadi.

Aku punya alasan kenapa tak menyukai lelaki itu. Lelaki itu bagai Benalu di rumah ini. Dari dulu kerjanya cuma bikin Ibuku menangis. Lelaki yang seharusnya bertanggung jawab dan menjadi sandaran kami itu tak pernah becus melaksanakan kewajibannya.

Aku ingat satu peristiwa yang membuat amarahku memuncak. Lelaki itu menggadaikan sertifikat rumah tanpa sepengetahuan ibu, ibu baru mengetahui hal itu tatkala pihak bank menagih ke rumah. Peristiwa itu terjadi ketika aku baru mau masuk SMP. Ibu menangis meratap kebingungan mencari pinjaman sementara. Dia gali lubang tutup lubang pada akhirnya. Dan karena peristiwa itu pada akhirnya aku harus mengalah, karena tak mampu membeli sepeda, aku harus sekolah di sekolah swasta yang jaraknya lebih dekat rumah. Padahal aku sudah lulus tes masuk SMP favorit yang jaraknya hanya bisa di tempuh dengan sepeda.

Kemana lelaki benalu saat itu? Dia bahkan tak peduli apakah kami bisa makan atau tidak. Dia tak pernah pulang setelahnya, dan kami melanjutkan hidup dengan terlunta-lunta. Ibu bekerja sebagai buruh cuci, setiap hari harus berpindah-pindah majikan, sementara aku melewatkan waktu bermainku dengan bekerja di toko Ci susi. Sepulang sekolah hingga sore aku membantu Ci Susi demi meringankan beban Ibu.

Lalu beberapa waktu kemudian dengan tanpa memikirkan kehidupan kami sebelumnya, setelah dua tahun menghilang, Lelaki itu datang kembali. Sambil di antar oleh petugas kelurahan, lelaki itu pulang dengan keadaan yang bikin Ibuku semakin sedih.

Lelaki itu di temukan di pulau seberang, yang menemukan adalah komunitas pencari orang-orang hilang. Konon, ada tetangga desa yang melihat tayangan itu dan tetangga desa tersebut mengenali lelaki benalu itu. Kemudian tetangga itu menghubungi pihak desa. Akhirnya pihak desa mengkoordinir kepulangannya. Tanpa persetujuanku.

Beberapa bulan setelah kembali, lelaki itu menjalani pengobatan, pihak desa yang memfasilitasi semuanya, aku tak mau tahu apapun. Bagiku dia tak penting lagi. Lebih baik dia tak pernah kembali, daripada kembali tapi membuat beban Ibu semakin besar. Ibu tidak bisa melakukan aktivitas normal karena harus menjaganya. Aku sama sekali tak berniat ikut membantu Ibu dalam hal yang menyangkut lelaki benalu itu, karena setiap berdekatan dengannya rasa benciku bertambah.

Pernah suatu hari Ibu minta tolong mengawasinya karena ada suatu hal yang tak mungkin Ibu tinggal, dengan terpaksa aku mengiyakan. Lelaki benalu itu tengah meringkuk di sofa, aku dekati, lalu dengan sekuat tenaga aku memakinya, mengeluarkan semua rasa sakit hati yang selama ini ku pendam. Dia terlihat ketakutan, meringkuk semakin dalam, tapi aku tak peduli. Entah dapat bisikan setan atau apa, dengan kekuatanku, ku seret lelaki itu keluar rumah lalu menaikkan ke becak Pak Rudi yang sedang terparkir, membawanya menjauhi rumah, menurunkannya di jalanan sepi, lalu meninggalkannya dengan perasaan puas yang tak terkira.

Saat aku pulang, Ibu menangis tersedu, Ibu tahu apa yang ku lakukan, tapi Ibu tidak bertanya apapun, dia hanya menangis kemudian masuk ke kamar. Ke esok harinya ku kira Ibu akan bertanya, tapi ternyata tidak, semua seolah tak pernah terjadi. Semua kembali normal, sama seperti sebelum lelaki benalu itu datang.

"Ibu, Sari tidak mau bertemu lagi dengan dia."

Aku memancing saat itu, berharap Ibu akan merespon atau memarahiku karena aku akui tindakanku sudah keterlaluan. Tapi rupanya usahaku gagal, Ibu hanya diam dengan wajah sedih yang tertahan.

Kukira setelah itu, aku tak lagi bertemu dengannya, tapi ternyata tidak, hari ini dia kembali, walaupun di lubuk hatiku ada sedikit kelegaan karena dia baik-baik saja, tapi rasa sakit hatiku masih lebih mendominasi. Aku masih belum bisa menerimanya.

****
"Nduk. Kamu jadi kerjanya? "tanya Ibu. Hari sudah larut, langit malam sedang menumpahkan tangisnya lewat tetesan hujan. Aku dan Ibu bergumul di selimut yang sama, saling berpelukan demi mengusir dingin.

Aku mendongak, menatap mata Ibu yang terpejam. " Gajinya lumayan, Bu. Sari ambil ya?"

Tangan Ibu mengelus rambutku penuh sayang, lalu keningku merasakan kecupan.

"Maafkan Ibu dan Bapak, Nduk. Kami tidak bisa memberikan kebahagiaan seperti teman-temanmu. Kami hanya bisa membuatmu sedih." Suara wanita ini serak, dari sudut matanya tanpa sengaja menetes sebulir air mata.

Ibu meminta maaf padaku. Andai wanita ini tahu, aku sama sekali tidak pernah sedih karena nya. Akulah seharusnya yang minta maaf , karena berulang kali membantah nasihatnya.

"Ibu. Ibu jangan ngomong begitu. Ibu tidak pernah buat Sari sedih, Bu. Ibu kekuatan Sari. Maaf, Ibu. Sari sering buat Ibu kecewa." tangisku pecah. Dadaku semakin sesak tatkala Ibu juga kini tersedu sambil mengeratkan pelukannya ke tubuhku.

Tbc.

BENALU YANG TAK TERLIHAT(Tamat)Where stories live. Discover now