Bab 29

101 7 0
                                    

Pagi ini aku masih di rumah sakit. Sudah empat hari Bapak rawat inap di sini. Dan sejak itu pula aku belum pernah pulang kerumah. Berangkat kerja pun dari sini.

El selalu ada, dialah orang yang sering mengantar Ibu pulang. Membawakanku baju ganti dan ikut Menjaga Bapak saat aku bekerja.

Persepsiku tentangnya mulai berubah. Entah sejak kapan. Yang kurasakan sekarang adalah aku selalu respect padanya, selalu ingin terlihat sempurna bila berhadapan dengannya, selalu merasa ada yang kurang saat sehari saja tak melihat wajahnya. Dan yang aneh kerja jantungku jadi berlebihan padahal hanya melihat pria itu tersenyum.

Sesuatu yang dulu tidak pernah kurasakan.

El sendiri ketika bersamaku biasa-biasa saja. Dia tetap semaunya sendiri. Kadangkala aku merasa dia sangat perhatian, tapi perhatian itu lebih seringnya ia tunjukkan kepada kedua orang tuaku.

Suatu hari aku iseng bertanya padanya, kenapa dia begitu baik pada kami, padahal kami bukan siapa-siapa, bukan pula keluarganya. Reaksi pemuda itu malah kaget. El, bilang di adalah karyawan Ibu, Ibu memberinya upah tiap hari, jadi kebaikannya selama ini bisa di anggap salah satu pekerjaan.

Jawaban yang masuk akal. Tetapi kenapa aku kecewa? Bukankah itu wajar? 

"Sarapan."

Panjang umur, pria itu muncul dengan membawa dua bungkus nasi lengkap bersama dua botol minuman mineral di tangannya.
Matahari sudah terlihat, kami duduk di luar ruangan di sebuah kursi panjang. Setelah beberapa hari di sini aku mulai terbiasa dengan jadwal yang di terapkan, jam-jam ini adalah jam dimana kamar pasien di bersihkan dan kami di minta keluar untuk sementara.

Aku mulai membuka nasi yang tadi pemuda itu bawa. El pun melakukan hal serupa. Kami makan dalam diam, rasa lapar membuat nasi bungkus ini begitu nikmat walaupun hanya pakai lauk seadanya.

"Bapak bagaimana?" tanyanya sambil membuka tutup botol air mineral, kemudian di serahkan padaku karena aku tersedak.

"Panasnya sudah turun. Sudah lebih tenang juga." El manggut-manggut.

Hari ini dia memakai kemeja warna coklat muda yang dia padu padankan dengan celana jeans warna hitam. Lalu di lengan kirinya tersampir jaket kulit hitam yang mungkin baru saja ia lepas. Rambut hitamnya ia biarkan tergerai berantakan begitu saja. Hal yang sepertinya menjadi ciri khasnya.

Aku langsung meneguk air dari botolnya. Membuat sisa hampir setengah botol saja, kemudian menaruh botol itu ke samping tempat dudukku. El yang sedari tadi duduk agak menjauh rupanya sudah menyelesaikan sarapannya, pria itu bangkit lalu berjalan ke arah tempat sampah yang letaknya tak jauh dari kami.

Saat kembali kukira ia akan minum dan membuka botol air yang masih ada segelnya, tetapi rupanya perkiraanku keliru, El dengan santainya minum air bekas sisaku, langsung dari botolnya, sama seperti yang kulakukan beberapa menit lalu.

"Kenapa?" tanyanya, sambil menaikkan alis. Pemuda itu menutup botol yang sudah tak bersisa itu kemudian meletakkannya di tempat semula.

Apa ia tidak sadar kalau baru saja minum sisa botol minumku. Apa dia tidak merasa jijik?

Aku menggeleng cepat-cepat khawatir dia berpikiran macam-macam.

"Kenapa bengong? Aku perhatikan ada yang aneh, sekarang kamu lebih pendiam." tanyanya lagi kemudian mendekatiku.

Tidak bisa di biarkan. El tidak boleh tahu kalau dia sudah membuat hatiku kebat kebit akhir-akhir ini.

"Enggak. Biasa saja. Itu, aku heran saja, kok kamu nggak jijik minum air bekas minumku?"

Pria yang masih berdiri menatapku itu berdecih,

"Kamu keberatan?"

Eh?

BENALU YANG TAK TERLIHAT(Tamat)Where stories live. Discover now