Bab 32

100 3 1
                                    

Aku masuk kontrakan El setelah pemuda itu membuka kuncinya. Ruangan itu tetap sama seperti sebelumnya, tak berubah. Khas bujangan, maksudku status El bujangan kalau di sini, entahlah kalau di luar sana.

Beberapa menit kemudian aku mencium aroma masakan menguar dari arah dapur. Mungkinkah pria itu masak?

Setelah membasuh muka, aku beranjak kekasur. Merebahkan tubuhku yang sedari tadi sudah gemetar. Kasur berukuran single bad ini terasa sangat nyaman. El yang sepertinya mengerti kalau aku kecapekan plus ngantuk menyuruhku untuk langsung tidur saja. Toh, tadi di warung aku sudah menyantap beberapa cemilan yang cukup mengenyangkan.

El tak lagi menyinggung peristiwa yang menimpaku, dia seakan tak mau terlalu banyak ikut campur urusanku.

Wangi selimut ini wangi El, semua wangi El, dari sprei, guling dan bantalnya. Aku memejamkan mataku menikmati sensasi ini, sensasi seakan dalam pelukan pemuda itu.

******

"Sudah siang. Kayaknya kamu harus makan."

Apa dia tahu kalau aku sudah bangun? Ku lirik jam dinding menunjukkan pukul sebelas siang. Itu artinya hampir empat jam aku tertidur.

Aku mengintip pria itu dari balik selimut. Ia sudah berganti baju, lebih rapi.

"Kamu mau kemana?" tanyaku tak rela karena El sedang memakai helm

"Kerjalah."

Jawaban El membuatku merenggut.

"Kamu sudah makan?" tanyaku lagi sambil beranjak lalu meraih sepiring nasi goreng buatannya. Sudah dingin.

"Nanti saja. Itu kamu makan dulu, kalau sudah habis, cuci ya, terus pulang. Biar nanti aku yang jelasin ke Ibu."

"Sama sekali nggak romantis." gumamku sangat pelan.

Biarpun pelan sepertinya pemuda itu masih bisa mendengar, dia mengernyit, "apa? "

"Makasih."jawabku sedikit ketus.

El tiba-tiba saja mendekat, mencopot helm yang tadi sudah nangkring di kepalanya kemudian mencondongkan wajah yang belakangan ini menjadi favoritku ini agar lebih dekat.

"Aaa .... "

"Ngapain?" tanyaku kaget saat mulut pria itu mangap di hadapanku.

"Suapinlah. Kamu kan yang tadi bilang mau romantis,"

OMG, jadi dia mendengar ucapanku!Aku yakin sekarang pipiku sudah memerah. Terkadang aku bingung sendiri, kenapa sekarang aku gampang banget blushing mendengar ucapannya.

"Ayo mana? Aaaa...."

El pasti sedang menggodaku. Senyum jailnya muncul.

Aku mendesis malas lalu tanpa berani menatapnya, tanganku terulur menyuapinya. Tentu saja dengan susah payah menetralkan genderang di dadaku.

"Aku berangkat dulu." pamitnya sambil mendongakkan wajahku agar menatapnya.

Bagaimana aku bisa menormalkan perasaan ini, kalau tiap hari tingkahnya selalu membuatku semakin terpesona.

****
"Maksud kamu, kamu sudah nggak kerja, Nduk?"

Aku mengangguk, kami sedang berada di kamar Bapak. Pria itu sudah tertidur sejak sore, efek minum obat, mungkin.

"Nggak apa. Bantu Ibu di toko saja, sambil jaga Bapak."

Aku tersenyum lega karena ibu tidak menanyakan alasanku berhenti kerja. Itu lebih baik daripada ibu tahu.

"Bu. Beneran Ibu nggak mau cerita soal Ibu Dewi Rumadani?" Aku mengalihkan pembicaraan.

Wanita itu mendesah, ia menggenggam tanganku lalu kemudian menyeretku keluar kamar.

BENALU YANG TAK TERLIHAT(Tamat)Where stories live. Discover now