Bab 42

91 3 0
                                    

"Yuki ... Kamu lihat apa?"

Teriakan Mbak Indah membuatku terpaksa membuka mata dan El memundurkan tubuhnya.

Kami sama-sama kaget, reflek menjauhkan diri. Wajahku langsung memanas karena malu, sementara itu El terlihat menahan kesal.

"Maaf, Mbak. Saya ngagetin ya?" tanya Mbak Indah polos.

"Aku masuk dulu." pamitku setengah berlari.

Pada akhirnya aku yang harus kabur agar terbebas dari kecanggungan ini.

***
Hari sudah sore saat aku pulang kerja. Sisa-sisa hujan siang tadi masing menyisakan genangan air di beberapa ruas jalan. Udara juga adem karena sinar matahari hanya mengintip malu efek tertutup awan.

Selama menjadi karyawan cafe tersebut, setiap hari aku selalu berangkat dan pulang bersama El. Jangan pernah berpikir dia memberi tumpangan secara gratis, karena itu mustahil! Pria itu tetap memasang tarif seperti biasanya, walaupun hanya di hitung pas berangkat.

Pas pulang dia menggratiskan, bonus alasannya.

"Upah hari ini jangan pakai uang." katanya sembari mengangsurkan helm padaku.

"Mau pulsa atau voucher?"

"Enggak... Enggak!" tolaknya cepat. "traktir makan saja."

Kenapa dia seperti sengaja menambahkan bonus cengiran? Tidakkah pria itu tahu bahwa senyumannya kini laksana candu buatku.

Aku mendesah, kuatkan hatiku, Tuhan.

"Kemana?" tanyaku setelah mampu menguasai diri agar tidak terlihat terlalu mengaguminya.

"Mmm ... Kamu maunya kemana?"

"Kok aku? Yang pengen di traktir kan kamu. Lagian aku pengennya makan di rumah sambil nonton Sara Wijayanto."

El mengerucutkan bibir. Dia seharusnya sudah hafal dengan jadwal tayang channel favoritku itu malam minggu.

"Di dekat Aina Swalayan ada lalapan enak, lho."

Pikiranku melayang pada peristiwa tak mengenakkan beberapa tahun lalu, moment saat aku sedang berjuang mencari pekerjaan di swalayan tersebut.

"Nggak mau, ah."

El memasangkan seatbelt helmku, wajah kami menjadi sangat dekat sehingga aku bebas memandangi wajahnya.

"Cakep kan aku?" tanyanya sambil mengerling genit.

Pria itu rupanya menyadari kalau sejak tadi kupandangi.

"Iyain aja deh, biar masnya berbunga-bunga." sahutku memutar bola mata.

El memasang senyum mautnya lagi, masih di depan mataku.

"Makan di mana nih enaknya?" ulangnya manja.

Pemuda ini memukul-mukul pelan lenganku, berbicara layaknya anak kecil.

"Kamu maunya apa? Kalau bingung mending nggak usah deh. Kita makan di rumah saja."

"Kamu yang masak, ya? Di kontrakanku." sahutnya cepat membuatku kelabakan.

Kemampuan masak nol besar!

"Diam berarti oke!" Pemuda itu bahkan sempat-sempatnya meraih rambut liarku. Kemudian merapikannya.

"Mampir mini market ya."

El meraih lenganku menuju motornya. Pria itu tak perduli saat bibirku ini sibuk meralat lebih baik makan di luar saja.

Aku tak bisa masak!!

BENALU YANG TAK TERLIHAT(Tamat)Where stories live. Discover now