Bab 15

134 6 0
                                    

(Di KBM aplikasi sudah part 37, up tiap hari, dengan judul yang sama)

~~~~

    Seperti rencana semalam, hari ini aku membantu ibu berbenah dan mengepak barang yang akan kami bawa pulang. Bapak sedang berjemur di depan. Tentu saja aku maupun Ibu tetap berusaha memantau gerak gerik Bapak. Kami tidak mau lengah.

"Bulek mana, Bu?" tanyaku. Dari semalam sepupu ibu itu tidak terlihat.

"Ibu belum cerita ke kamu, Nduk?" Ibu malah tanya balik membuatku menggeleng cepat.

"Anak Bulek hari ini menikah."

"Oh, yang tinggal sama Bapaknya itu?"

Ibu mengangguk. Kami tak melanjutkan pembahasan itu lagi, sibuk menata kardus-kardus yang nantinya akan kami bawa pulang.

Tiba-tiba saja ponselku bergetar, terpampang nama Bulek di sana. Membuatku tanpa pikir panjang segera menggeser tombol hijau untuk menerimanya.

"Sari, nanti kalau nggak repot, Bulek minta tolong ya." seru Bulek dari seberang sana. Ibu memintaku Mengaktfikan loud speaker.

"Apa Bulek?"

"Kamu datang ke sini ya. Temani Bulek. Cuma sebentar kok, pas acara saja. Biar Bulek ada temannya."

"Acaranya jam berapa, Bulek?" tanyaku lagi sembari melirik Ibu yang juga tengah mendengar pembicaraan kami.

"Habis Ashar."

Ibu mengangguk. "Siap Bulek. Nanti Sari ke sana."

****
   Janur kuning sebagai tanda adanya acara pernikahan terlihat dari kejauhan. Jarak antara rumah Bulek dan tempat ini tidak terlalu jauh, hanya beda desa saja. Bisa di tempuh dengan waktu sekitar setengah jam pasti sudah sampai.

"Tamunya Pak Kuncoro atau mempelai, Mbak?" sapa seorang pria berpeci dan berkemeja batik menghampiriku. Pria itu juga membantuku memarkirkan motor di tempat yang sudah disediakan. Kutebak pria itu adalah salah satu orang yang dipercayai pemilik hajat untuk menyambut tamu diparkiran. Tapi sayangnya aku bukan tamu keduanya.

"Mbak!"

Teguran pria itu sontak membuyarkan lamunanku. "Saya nunggu teman dulu, Pak."

"Kalau begitu di sana bisa, Mbak. Biar tidak kepanasan."

Pria yang usianya kutaksir empat puluh tahunan itu menunjukkan ke arah kanan, ke sebuah rumah kecil yang terasnya sudah di tata sedemikian rupa untuk para tamu undangan yang . Aku menurut kemudian berjalan pelan ke arah rumah itu sambil mencoba menghubungi Bulek lewat telepon.

Tak sampai sepuluh menit Bulek muncul. Penampilannya sangat rapi, rambut yang biasa Bulek gerai kini di sanggul. Bulek mengenakan pakaian kebaya berwarna keemasan yang sangat cocok dengan warna kulitnya.

"Ayo masuk." Bulek mengamit tanganku pelan, mengajakku masuk ke dalam halaman yang kini ber Tarub itu. Kami berpapasan dengan pria berpeci tadi dan Bulek sempat menyapanya sebentar, sekedar basa-basi.

"Duduk sini saja, " Bulek membawaku duduk di deretan kursi paling depan. Pas di depan pengantin. Kalau boleh menebakbalasannya adalah karena Bulek orang tua mempelai.

"Kamu mau makan apa?"

Kutengok sekitar, masing-masing tamu membawa piring sendiri-sendiri sambil mengikuti acara yang sedang berlangsung.

"Nanti aku ambil sendiri saja, Bulek. "

Bulek tak lagi bertanya, ia menjatuhkan bokongnya di sebelahku lalu fokus ke depan, antusias. Di depan sana tampak dua mempelai sedang melakukan prosesi dulangan.

Prosesi itu merupakan simbol yang menggambarkan kerukunan suami istri. Di mana suami akan membuat tiga kepal nasi kuning kemudian di letakkan di piring yang di pegang mempelai wanita, lalu nasi itu akan mereka makan bersama. Kemudian mempelai pria memberi air putih kepada mempelai wanita untuk di minum.

Selama ini saat datang ke acara resepsi, aku tidak pernah memperhatikan secara detail tahapan-tahapannya. Mungkin karena dulu aku lebih suka duduk di kursi belakang, memilih tempat paling sudut. Agar tidak terlihat.

Prosesi selanjutnya aku tidak tahu namanya, tapi aku melihat  perubahan pada wajah Bulek. Wajah Bulek menjadi sendu, matanya berkaca-kaca sambil terus fokus menatap prosesi di depan sana. Sejak tadi, tidak ada yang mengajaknya bicara. Ia seolah tamu biasa di sini. Pantas saja ia memintaku untuk datang. Ia pasti merasa terasing dan terabaikan.

     Sedu sedan Bulek tak lagi bisa di tahan, ia berulang kali menghapus air matanya diam-diam. Di depan sana tengah ada prosesi sungkeman. Di mana kedua mempelai bersembah sujud kepada kedua orang tua untuk memohon doa restu serta memohon maaf atas segala khilaf dan kesalahan. Kedua mempelai memohon doa dan restu kepada orang tua agar menjadi keluarga yang bahagia.

Tapi kenapa? Harusnya Bulek juga ada di depan sana, bukan? Harusnya Bulek juga menerima sungkem dari anak dan menantunya? Kenapa Bulek masih di sini? Tentu semua tanya itu hanya kutahan. Tak mungkin aku menanyakannya apalagi protes. Siapa aku? Bulek yang jelas-jelas Ibu mempelai saja terabaikan.

Akhirnya yang dapat kulakukan adalah menepuk pundak Bulek pelan-pelan, berharap upayaku ini bisa mengurangi kesedihannya. Punggung wanita itu bergetar hebat, menandakan ia sedang menahan tangis. Selama ini aku tak pernah melihat Bulek Wulan menangis. Di kehidupan sehari-harinya ia adalah wanita tegar yang selalu terlihat kuat. Tak kusangka dia akan bisa serapuh ini sekarang.

   Kuhentikan tepukan tanganku karena tiba-tiba saja di depan kami muncul kedua mempelai. Tak berbeda denganku, Bulek juga nampak kaget. Tangis Bulek semakin kencang tatkala tiba-tiba saja mempelai putri bersujud di hadapannya. Mempelai putri yang juga anak Bulek satu-satunya itu  mengucapkan kata-kata sambil terisak. Adegan di depanku ini tak pelak membuatku sedikit tersentuh.

Air mataku hampir saja runtuh, selama ini aku bukanlah wanita yang gampang menangisi orang lain. Aku paling tidak suka orang lain tahu ketika aku sedang rapuh ataupun sedih, bagiku cukup mereka tahunya  aku adalah gadis jutek dan judes tanpa perasaan. Aku tidak suka dikasihani.

Daripada air mataku ini jatuh di hadapan banyak orang, akhirnya aku memilih permisi pergi. Mencari tempat duduk dibelakang kurasa lebih baik. Toh, sekarang yang di butuhkan Bulek bukan diriku.

   Tepat saat aku hendak melangkah, tiba-tiba saja mataku tak sengaja bertubrukan dengannya. Berbeda denganku yang kini terpaku melihatnya, pria berkemeja batik yang juga menatapku itu sepertinya tak terkejut sama sekali. Air mukanya tetap tenang, sorot matanya datar, lalu saat aku berniat menyapanya dengan senyuman, dia memalingkan wajah, seperti sengaja. Senyumku yang sudah di ujung bibir ini lenyap seketika dibarengi dengan retakan di dadaku yang seolah patah.

Apa yang telah terjadi sebenarnya, dengan dia?

Bersambung.

BENALU YANG TAK TERLIHAT(Tamat)Where stories live. Discover now