Bab 9

154 10 0
                                    

   Hari masih sangat pagi. Lampu jalan masih menyala, langit masih gelap, udara masih dingin dan berkabut. Suara orang berdzikir di masjid masih terdengar bersahutan, tapi aku sudah ada di tengah jalan menembus keheningan pagi dengan melajukan motor secara pelan. Ini adalah hari minggu, hari di mana para pekerja  dan anak sekolah libur. Beberapa hal yang mengakibatkan aktivitas di jalan sedikit lengang, hanya ada satu dua motor yang lewat berpapasan denganku, kutebak mereka adalah para bakul sayur yang baru saja kulakan dan akan dijajakan ke pasar-pasar.

     Semalam, Aku sudah rundingan dengan Ibu, minta izin untuk mencari kerja. Awalnya, tentu saja Ibu keberatan, tapi untung Bulek yang ikut serta segera memberi pengertian. Dan dari perdebatan itu aku semakin tahu, kalau Ibu memang sesayang itu padaku. Ternyata selama ini Ibu rela bekerja dan membiarkan Bapak di jaga olehku karena beliau terlalu khawatir. Aku masih ingat saat bulek menanyakan alasannya selalu saja melarangku kerja

'Dia anak perempuan, Lan, aku cuma tidak mau terjadi apa-apa padanya' sebuah kekhawatiran yang berlebihan menurutku.

Motor yang kulajukan sudah jauh dari tempat tinggal Bulek. Lampu jalan sudah padam, jalan yang ku lintasi juga sudah mulai ramai, tapi kabut masih muncul tipis-tipis karena sinar matahari belum muncul.

Rencananya hari ini aku akan mengunjungi tiga tempat yang sedang membutuhkan karyawan. Tempat yang pertama adalah sebuah pasar. Bos pasar ini hanya pagi hari berada di pasar.

"Temannya Ali? "

Aku mengangguk cepat, saat Bos pasar itu bertanya. Wanita berusia sekitar lima puluhan itu memandangku sedikit berlebihan.

"Kamu beneran mau kerja di sini? "

"Iya, Bu."

Dia kembali memandangku bahkan sekarang seperti menelanjangi tubuhku.

"Ikut saya." serunya sambil melangkahkan kaki mendahuluiku.

Hatiku bersorak seketika. Bayangan akan mendapatkan pekerjaan membuat dadaku berdebar tak sabar. Kemarin, Ali teman SMP_ku membuat pengumuman di grup sekolah, dia bilang ada lowongan kerja di pasar ini. Ali juga bilang pekerjaannya di mulai pukul empat sore dan berakhir jam sembilan malam. Jam di mana aku bisa meninggalkan Bapak.

"Kamu beneran tidak keberatan kerja seperti itu? "

Ucapan Bos wanita itu sontak membuyarkan lamunanku. Wanita yang memakai baju oversize itu memandangku sekilas kemudian mengarahkan dagunya ke sebuah arah.

"Penampilanmu tidak cocok." katanya sekali lagi membuatku meringis.

Pemandangan di depanku kini menjawab semua pertanyaanku. Pekerjaan yang sedang kulamar ini memang sama sekali tidak cocok untukku. Bagaimana tidak, apa aku sanggup memanggul beras berton ton seperti mereka?

Dalam hati aku menyumpahi Ali. Kenapa dia tidak menjelaskan secara rinci tentang lowongan kerja itu? Hah, aku mendengkus kemudian permisi setelah mengucapkan kata maaf.

*****

     Seusai keluar dari pasar kulajukan motorku tanpa arah. Sepagi ini kantor swalayan yang menjadi tujuan kedua ku pasti belum buka. Tadinya bayanganku, pekerjaan yang di tawarkan Ali di pasar adalah menjadi penjual beras. Tapi rupanya aku yang salah paham.

Karena bingung mau kemana, akhirnya kubelokkan motorku ke sebuah kafe di sebelah kanan jalan. Rasa hausku harus segera ku tuntaskan dengan meneguk segelas teh hangat sekalian sambil menunggu swalayan buka. Kafe ini ku tebak di kelola anak muda melihat konsep yang mereka suguhkan. Sederhana khas anak pedesaan tapi elegan.

Saat masuk tadi mataku langsung di sambut dengan beberapa ornamen terbuat dari bambu yang di modifikasi menjadi berbagai hiasan berkarya seni tinggi. Di kanan kiri dinding sengaja di beri tulisan berisi quotes yang aku yakin tujuannya menjadi tempat selfi paling di buru oleh pengunjung karena isi tulisannya sangat anak muda banget.

Contoh quotes yang ada di sebelah tempat duduk ku sekarang. 'NGGAK PERLU SPESIAL, KAMU MANUSIA, BUKAN NASI GORENG' sontak membuatku mengumpat pelan sambil menahan tawa. Kalimat itu seolah menyindirku, aku sadar aku bukan siapa-siapa, aku hanya gadis delapan belas tahun yang kini tengah berjuang mencari jati diri dan pekerjaan yang layak agar tidak terus terusan merepotkan orang tua.

Setelah duduk dan memesan minuman, aku langsung fokus ke gawaiku. Ada lima panggilan masuk, semuanya dari Ibu. Ada tiga chat WA yang semuanya dari Ibu pula. Aku terkekeh membayangkan bagaimana paniknya Ibuku saat melihatku tidak ada di sampingnya saat beliau bangun. Kemarin aku memang sudah izin, tapi aku tidak bilang kalau akan berangkat sepagi ini.

Daripada Ibu khawatir, segera saja ku deal nomornya. Baru satu deringan, panggilanku sudah di terima, Ibu memang selalu seperti itu kalau menyangkut diriku.

"Kok pagi-pagi bener berangkatnya, Nduk?"

"Waalaikumsalam ... " jawabku menyindir Ibu karena tumben Ibu tidak mengucapkan salam terlebih dahulu.

Ku dengar Ibu terkekeh mendengar jawabanku, "Assalamu'alaikum."

"Waalaikumsalam. Iya Bu, maaf ya tadi habis subuhan Sari langsung berangkat."

"Sekarang di mana?"

"Lagi beli minum, Bu. Sambil nunggu toko buka."

"Sarapan juga. Nanti pulangnya hati-hati."

Aku tersenyum mendengar pesan Ibu, siapa yang akan menyangka wanita ini hanya Ibu angkatku.

"Iya. Bapak gimana? Nggak ngamuk lagi 'kan, Bu? "

"Itu sedang di halaman, berjemur. Tadi sempat ngamuk. Kenapa ya, Nduk, akhir-akhir ini Bapakmu sering ngamuk lagi?"

Aku menghentikan aktivitas mengaduk teh hangat, sudah seminggu ini Bapak sering tidak tenang. Walaupun kalau mengamuk masih dalam tahap wajar tapi sikapnya ini membuatku khawatir.

"Bapak butuh konseling, Bu. Makanya Sari harus kerja, biar nanti bisa bantu Ibu buat berobat Bapak."

Tidak ada jawaban dari seberang. Aku tahu Ibu masih tidak rela kalau aku kerja.

"Aku akan jaga diri kok, Bu." kataku lirih, yakin Ibu mendengar ucapanku.

"Ibu cuma ingat Ibu kandungmu, Nduk. Seusia kamu sekarang dia datang ke rumah."

Mengapa Ibu membahas itu, Bu? Mengapa harus wanita itu yang Ibu jadikan alasan? Tahukah, Bu, aku tidak suka di samakan dengan siapa pun, terutama dia! Dia memang melahirkanku tapi Ibulah yang mengajarkanku arti kehidupan, Ibulah yang selalu ada untukku, Bukan dia, wanita Benalu yang telah menghancurkan hidup Bapak dan Ibu. Wanita yang tidak tahu balas budi pada orang yang telah menolongnya, wanita yang tak pantas di sebut manusia karena beberapa kali ingin membunuh darah dagingnya sendiri, wanita yang seumur hidup tak ingin aku dengar lagi kisahnya.

Dan, wanita yang semoga saja tidak pernah kutemui karena aku tidak akan sanggup untuk tidak membencinya!

Cari alasan lain, Bu. Ku mohon ...

Sari, sari kamu yang salah malah kamu yang sebel sama Ali. Harusnya apa-apa itu di pastikan dulu. Baru Otw,  jangan sat set sat. set.

Doakan Sari cepat dapat kerjaan ya gaes, biar dia bisa bantuin cari cuan Ibunya.

Happy reading ❤

BENALU YANG TAK TERLIHAT(Tamat)Where stories live. Discover now