Bab 47

95 6 0
                                    

typo ada di mana-mana. Maaf ya.

Ruangan berukuran tujuh kali lima meter ini senyap. Hanya suara jam dinding yang berdetak saja yang terdengar. Kendaraan di depan rumah biasanya lalu lalang pagi ini juga terpantau sepi. Seperti mendukung keheningan di ruang tamu ini. Atau mungkin karena memang masih pagi dan bertepatan tanggal merah sehingga membuat para pengendaranya lebih memilih bergelung dengan selimut daripada keluar rumah.

Aku terdiam duduk di samping ibu. Sementara wanita berpakaian hitam itu duduk di seberang tempat duduk kami. Sendiri, dia datang sendirian.

Ibu sedari tadi tampak pucat. Aku tahu, peristiwa ini pasti tidak pernah beliau antisipasi. Siapa juga yang menduga wanita ini berani datang? Aku pun tak pernah berpikir dia akan datang dan menemuiku kembali ke rumah ini.

"Ibu, buat minum dulu." pamit Ibu.

Suara ibu terdengar parau. Aku tahu sebisa mungkin wanita itu menguatkan hati.

"Kamu sakit?"

Ucapan pertama keluar dari bibir wanita itu.

"Kenapa anda kemari? Saya belum setuju untuk menemui anda lagi!"

Nyonya Farah tak langsung menjawab. Dia berdiri lalu melangkah mendekat padaku.

"Kamu pucat. Kita ke dokter, yuk."

Tangan wanita itu berusaha menyentuh dahiku tapi untungnya aku bisa mengelak.

"Anda belum menjawab pertanyaan saya." ketusku tak perduli dengan kekhawatiran di wajahnya.

"Saya sudah menjelaskan, kalau kita perlu bicara lagi. Tapi kalau kamu sakit begini-

"Saya baik-baik saja." selaku cepat.

perdebatan kami terjeda karena Ibu keluar membawa dua cangkir minuman. Saat meletakkan cangkir itu di meja, tangan ibu gemetaran.

"Mbak. Sari sudah tahu semuanya?"

Ucapan wanita itu membuat ibu mendongak. Dari samping kulihat ibu sedang berusaha keras untuk tenang.

"Dia memang berhak tahu." ucap Ibu tegas.

"Mbak, aku minta maaf. Tapi ada yang mau saya luruskan di sini."

"Dia wanita yang melahirkanmu, Nduk. Ibu tidak bisa melarang kalian untuk berhubungan."

Aku tahu, ibu sedang menahan isaknya. Aku harus segera menjelaskan ke Ibu bahwa apapun yang terjadi tidak akan ada yang berubah.

"Tolong pergi. Jangan datang lagi."

Dengan suara rendah aku berdiri lalu memegang pundak ibu.

Nyonya Farah menatapku dengan wajah sedih.

"Mbak! Apa yang telah Mbak katakan pada Sari? Mbak, perjanjian kita dulu, apakah Sari tahu?"

Perjanjian?

Peganganku pada pundak ibu mengendur.

"Jadi Sari belum tahu?"

Aku menatap ibu, menuntut penjelasan. Tapi Ibu malah diam.

"Mbak Ridah yang cerita atau saya!"

Itu perintah bukan pertanyaan.
Dan sebaris kalimat itu membuat tangis ibu pecah.

Apa yang sebenarnya terjadi?

Aku terdiam ketika Nyonya Farah mengakhiri ceritanya. Ketika aku menatap ibu dan berharap adanya penyangkalan darinya, yang kudapat hanyalah isakan.

"Bu, bilang cerita itu tidak benar?" cicitku.

Ibu meraup wajahnya dengan kedua telapak tangan, menggeleng berulangkali.

BENALU YANG TAK TERLIHAT(Tamat)Where stories live. Discover now