Bab 4

261 16 0
                                    

      Perasaanku campur aduk. Aku bukan anak kandung Ibu! Kecewa, karena Ibu merahasiakannya selama ini dariku. Marah pada diri sendiri karena selama ini selalu berburuk sangka bahkan jahat pada Bapak, dan tentu saja sedih, karena harus menerima kenyataan kalau keluarga ini tidak ada hubungan darah sama sekali denganku.

Namaku Sarifah Aprilia. Semua orang memanggilku Sari, padahal kalau boleh memilih, aku lebih suka di panggil Rifah. Tapi ya sudahlah, apalah arti sebuah nama panggilan. Yang penting tidak merugikan dan membahayakan orang lain, bukan?

Seperti kata Ibu saat aku kecil, namaku di berikan sendiri oleh Ibu. Sarifah artinya Bangsawan, masih kata Ibu, Ibu bilang nama belakang itu hanya sebagai penanda kalau aku lahir di bulan April awal. Tidak ada arti khusus maupun istimewa.

Mungkin Ibu sengaja memberikan nama Sarifah padaku dengan harapan kelak hidupku akan di limpahi kemuliaan. Walaupun pada kenyataannya di tubuhku sama sekali tidak ada keturunan ningrat, mungkin Ibu harap nama itu akan menjadi doa yang baik untukku.

Kembali ke awal, setelah mengetahui fakta bahwa kami tidak ada hubungan darah sama sekali,  akhirnya ku paksa Ibu untuk bercerita lebih detail. Walaupun Ibu bilang semuanya sudah beliau sampaikan, entah kenapa aku masih belum puas. Banyak pertanyaan di dadaku, berharap salah satunya mendapatkan jawaban.

Dari sekian banyak rasa penasaranku, satu yang paling ingin ku tanyakan, Di mana wanita yang telah melahirkanku itu sekarang? Apa Ibu masih berhubungan dengannya? Apa wanita itu benar-benar memenuhi janjinya?

Tiba-tiba saja aku penasaran dengan wajahnya perempuan tak tahu terima kasih itu. Seperti apa wajahnya? Apa dia mirip sepertiku? Tapi melihat wajah sendu Ibu, aku tak sampai hati mengatakannya. Biarlah, mungkin lebih baik aku tidak menanyakannya. Luka lama Ibu pasti terbuka kembali seandainya aku nekat melakukannya.

"Mau ikut Ibu jemput Bapak?"

ibu membuyarkan lamunanku. Ia bertanya dengan wajah adem seperti biasanya.

"Bapak maafin Sari nggak ya, Bu?"

Aku menunduk tak berani menatap. Tanganku memilin milin gamis biru Ibu.

"Bapak pasti ngerti. Sari nggak salah apa-apa."

Aku seketika mendongak di balas dengan anggukan Ibu yang mencoba meyakinkanku.

Gamang rasanya untuk berkata Iya. Apakah pertemuanku dengan Bapak ini sudah saatnya? Apa Bapak akan mau memaafkanku?

"Kalau Sari belum siap sekarang, mggak apa. Nanti di rumah juga ketemu."

Inilah Ibuku, yang paling tahu diriku. Kenapa bukan wanita mulia ini saja yang melahirkanku?

Aku mencoba tersenyum. Sejak mengetahui kebenaran asal usulku, entah kenapa tersenyum menjadi hal yang sangat sulit ku lakukan sekarang.

"Ibu sama siapa?"

"Sama Bulek. Ya sudah, Ibu berangkat. Kamu baik-baik di rumah."

Ibu mengecup keningku singkat lalu bergegas keluar rumah.

Ngomong-ngomong soal rumah, sampai saat ini kami masih tinggal di rumah Bulek. Belakangan baru aku tahu kalau Bulek adalah sepupu Ibu. Sementara rumahku, eh maksudku rumah Bapak dan Ibu saat ini masih di renovasi. Untuk masalah biaya semua di tanggung oleh swadaya orang-orang kampung. Aku bersyukur selama ini tinggal di lingkungan orang-orang yang rasa sosialnya tinggi. Orang-orang yang bahkan sekalipun tak pernah menyinggung asal-usulku.

****

Suara bentor berhenti tepat di depan rumah Bulek. Di susul kemudian suara Ibu dan Bulek bersahutan. Dadaku terasa penuh, aku tak menyangka untuk bertemu Bapak rasanya akan seperti ini. Malu dan rasa bersalah menyelimuti kepalaku.

BENALU YANG TAK TERLIHAT(Tamat)Where stories live. Discover now