chapter 2

341 23 0
                                    

     Aku memarkir sepeda di teras rumah, lalu segera masuk. Cuaca yang panas membuat tubuhku gerah. Sebelum mandi aku membuka kulkas meraih air dingin yang sukses menghilangkan dahagaku. Setelah itu kunyalahkan kompor untuk menghangatkan sayur, berharap setelah mandi aku bisa langsung menyantapnya. Mataku memicing melihat lelaki benalu itu sedang ngomong sendirian menghadap ke tembok. Terkadang dia tertawa sendiri, aku menggeleng jengah, entah sampai kapan melihatnya seperti itu.

Setelah mandi tanpa sengaja aku berpapasan langsung dengannya. Ia mungkin mau ke kamar mandi, biarpun aneh seperti itu, lelaki itu jarang sekali kencing atau buang hajat sembarangan. Mungkin Ibu telah melatihnya, entahlah, aku tidak peduli.

"Sa ... Sari. "

Apa kupingku salah dengar, ada yang memanggil namaku pelan.

"Sa ... Sari .... "

Panggilan kedua membuatku mau tak mau menoleh. Lelaki itu memanggilku! Entah kapan terakhir dia menyebutkan namaku? Mungkin saat aku SD. Setelah itu tak pernah lagi.

Apa sekarang ingatannya kembali?

Tangannya kulihat gemetaran, wajahnya menunduk dan bibir hitamnya sedikit terbata seolah ingin mengatakan sesuatu.

"Apa?!"

Mendengar responku dia mendongak sebentar sebelum kemudian menunduk lagi.

"Itu pecah." Telunjuknya menunjuk sesuatu, seketika aku menoleh. Rahangku mengeras tatkala melihat piala yang terpajang di bufet pecah. Kepingannya sudah terkumpul di atas meja. Mungkin dia yang mengumpulkan.

"Apa yang kamu lakukan! Apa belum puas menjadi benalu di rumah ini?! Apa belum puas membuat semuanya hancur? Hah! " Tanganku reflek mengguncangkan kerah bajunya, amarahku meledak.

Piala itu adalah bukti usahaku, demi piala itu aku berusaha keras belajar agar dapat masuk sekolah unggulan dan mendapatkan bea siswa. Piala itu adalah kebangganku setelah semuanya ia renggut tanpa sisa.

"Apa belum cukup?! "Aku menangis membabi buta mendorongnya hingga ia terkapar.

Lelaki itu bangkit mencoba menghindar, tapi terlambat, aku seolah kalap. Semua kejadian berputar-putar di kepalaku, semua rasa kekecewaan karena ulahnya seolah kembali terpampang di depan mata. Rasa sakit itu kembali, rasa dendam itu muncul lagi dan aku kembali mendorongnya hingga ia terjatuh di dekat kompor.

Lelaki itu masih berusaha bangkit dengan ketakutan di wajahnya, tapi ia tak berucap apapun. Matanya itu, matanya kini menatapku seolah minta pengampunan, tapi hal itu malah membuatku murka. Tangannya yang gemetar sengaja kuraih lalu menghempaskannya kasar hingga mengenai selang kompor. Tiba-tiba saja panci sayur terjatuh di sebelahnya beserta kompor yang masih menyala. Lalu kejadiannya begitu cepat, entah bagaimana awalnya api sudah berkobar, menyambar korden dapur dan wadah plastik yang memang banyak di kolong.

Lelaki itu berteriak-teriak sambil masih bersimpuh di lantai, aku sempat melirik tangannya sedikit melepuh, entah kena apa.

"Sa ... sari, pergi. "

Dadaku sedikit bergetar kala mendengar ucapannya itu. Tapi egoku masih tinggi, dengan tenaga yang tersisa aku berusaha memadamkan api yang makin besar. Aku dan lelaki benalu itu terbatuk-batuk karena asap semakin pekat. Keadaan makin kacau karena lelaki itu berteriak minta tolong.

"Sari ... keluar! "

Terdengar teriakan dari luar menggedor pintu. Memang tadi aku sengaja mengunci pintu rumah karena pesan Ibu.

Aku berupaya keluar walaupun mataku sudah sangat perih. Tapi entah karena dorongan dari mana aku kembali ke dapur, lalu aku berjongkok memapahnya.

Seharusnya tidak seperti ini! Seharusnya aku membiarkan dia di sini dan semuanya terbayar lunas, tapi hati kecilku melarangnya, hati kecilku mengalahkan egoku.

BENALU YANG TAK TERLIHAT(Tamat)Where stories live. Discover now