Bab 28

95 6 0
                                    

    Kejadian penguntitan ternyata sampai juga ke telinga Bima, siapa lagi pelapornya kalau bukan Nayya. Perempuan itu pasti yang mengabarinya. Jadinya, sekarang aku dilarang berangkat pakai motor sendiri. Pria itu ngotot ingin mengantar dan menjemput ketika aku bekerja.

"Nanti nggak perlu di jemput," kataku sambil mengulurkan helm padanya.

"Kamu mau nginep?"

Aku menggeleng, "Hari ini Nyonya akan ada perjalanan arah ke rumah."

Untungnya Bima tak lagi bertanya. Ia langsung melesat pergi karena buru-buru, masih harus melanjutkan pekerjaan. Bima harusnya tak melakukan ini. Kami hanyalah teman, bukan?

Pernah suatu hari, saat itu aku sengaja menyinggung  semua perhatiannya padaku, dia mengaku  nyaman bersamaku. Dia tahu, perasaanku padanya seperti apa, aku hanya menganggapnya teman, tetapi Bima bilang dia bisa mengerti dan bersedia menunggu sampai perasaanku berubah.

Tapi hal itu kapan?

Atau sebenarnya dalam hati kecilnya dia berharap aku bisa luluh dengan semua perhatiannya itu?

Mustahil.

Bima sedang memperjuangkan sesuatu yang sulit. Aku bukan tipe perempuan yang akan mudah menerima cinta seseorang begitu saja, prinsipku dari dulu tak berubah.

Aku ingin memiliki pasangan yang saling berbalas rasa, saling mencintai agar kami sama-sama bahagia.

    Lamunanku buyar karena security menyapaku, rupanya sedari tadi pria empat puluh tahunan ini sudah membuka gerbang, menungguku masuk.

"Nanti acara kangen-kangennya bisa di sambung lagi, Mbak. Saya sudah dari tadi buka gerbang, Mbak Sari malah ngelamun."

Aku tersenyum kecut, melambaikan tangan melanjutkan langkah. Sania pasti sudah menunggu.

    "Kakak ...." Benar saja, gadis kecil itu sudah menunggu, dia berlari menyambut kemudian memelukku dengan senyum merekah.

"Kakak taruh tas dulu, ya." Sania mengangguk.

Hari ini Sania mau menyulam, gara-gara melihat video toktok, gadis kecil itu jadi penasaran. Untungnya Sania tak memaksaku untuk mengajarinya, Aku hanya mengawasi dari samping saja.

"Nanti malam gimana Dek? Jadi ke luar kotanya?"

Sania mengangguk. Beberapa hari yang lalu Sania cerita akan ikut mengunjungi orang tua Maminya. Dan aku di minta ikut pula. Awalnya aku sempat menolak, tapi kata Nyonya, aku harus ikut, demi menyenangkan Sania.

"Perginya nggak jadi malam, tadi Nyonya telpon sudah ada di jalan. Kalian harus siap-siap sekarang." Mbok tiba-tiba datang membuyarkan lamunanku.

"Aku nggak suka di sana," gumam gadis itu sambil mengerucutkan bibirnya.

"Kenapa? Kan enak ketemu nenek. Kakak dari kecil pengen sekali punya nenek."

Sania mendengus, ia memutar tubuhnya membelakangiku, tangannya bersendekap di dada.

"Nenek nggak pernah sayang sama aku!"

Aku tak lagi berani bertanya, apalagi Mbok memberiku kode untuk diam.

***
   Mobil yang kami tumpangi sudah membelah jalanan kota. Rute perjalanannya ternyata melewati depan rumahku.

"Nanti salim ya sama Nenek," pesan Nyonya dari jok depan.

"Nggak mau!"

Nyonya Farah tak lagi bicara, pandangannya lurus ke depan, seperti memikirkan sesuatu. Aku juga memilih tak bicara apapun.

BENALU YANG TAK TERLIHAT(Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang