Bab 10

175 10 0
                                    

     Setelah hampir satu jam beristirahat, akhirnya aku bangkit. Duduk terlalu lama ternyata membuat bokongku terasa kebas. Aku berjalan ke arah kasir yang letaknya cukup jauh dari tempat dudukku tadi. Selama melangkah kusempatkan melihat suasana warkop ini, nyaman dan cocok banget buat nongkrong anak muda.

Argh...

Sampai usia segini sama sekali belum pernah merasakan nongkrong bareng-bareng sama teman. Bukan karena aku nggak punya teman, ada beberapa teman perempuan yang lumayan dekat denganku, sayangnya mereka sekarang berada jauh dari jangkauanku karena  melanjutkan pendidikan ke luar kota.

Adapun penyebabnya adalah karena memang sedari dulu aku tidak terlalu suka berkumpul banyak orang. Cukup satu sampai tiga orang saja menurutku. Di grup SMP maupun SMA sering sekali mengadakan acara kumpul dan nongkrong yang kutebak ke tempat seperti ini, tapi kembali lagi ke pribadiku yang sama sekali tidak tertarik untuk ikut. Sehingga kadang ada satu dua temanku yang memberiku gelar si gadis sombong.

Di depan kafe ini ada panggung kecil yang kuyakini menjadi tempat para seniman menunjukan bakatnya. Panggung yang tidak terlalu tinggi itu menghadap langsung ke meja yang berjajar di tengahnya, sehingga pengunjung dapat langsung menikmati hidangan sambil mendengar musik dari tempat duduk.

Setelah membayar ke kasir dan memeriksa kembali tasku, aku segera melangkahkan kakiku keluar. Saat keluar suasana cafe ini semakin rame padahal hari masih pagi. Beruntung sekali pemilik cafe ini, ia pasti mempunyai jiwa bisnis dengan level atas. Terlihat sekali, dia mampu melihat lokasi ini sangat menjanjikan untuk membuka tempat usaha.

    Pukul tujuh tepat motorku terparkir sempurna di depan Swalayan tujuanku. Swalayan bernama 'AINA SWALAYAN' ini sudah nampak ramai dari luar. Terlihat banyaknya motor yang terparkir memenuhi parkiran.

Letak Swalayan ini berada di tengah-tengah komplek perumahan. Di kotaku perumahan seperti ini masih sangat jarang. Maklum, aku hidup di daerah yang jauh dari kota besar.

"Pak, Supervisornya ada? " Aku bertanya pada lelaki berkumis yang sedang duduk di samping pintu masuk. Lelaki berpakaian petugas keamanan itu tampak sekali menahan kantuk.

"Belum datang, Mbak," jawabnya setelah dia mampu menguasai diri. "Mau melamar kerja? "

Aku mengangguk cepat. Pak Satpam melihatku dengan tatapan heran. Penampilanku memang tidak seperti orang yang mau kerja. Aku hanya memakai atasan kaos yang ku balut dengan sweater hitam serta celana jeans yang bolong area dengkulnya.

"Tunggu saja, Mbak. Biasanya kalau hari Minggu datangnya jam sembilan. Mbak duduk di sana saja biar nggak capek berdiri."

Pak Satpam yang ku lirik bernama Roy itu menunjukkan kursi yang ada dipojok depan dekat tempat galon air.

Setelah mengucap terimakasih, aku permisi untuk menuruti perkataan Pak Roy tadi. Melangkah ke arah kursi kosong yang mejanya masih berembun.

*****
    "Bawa persyaratannya?" tanya pria di depanku kini. Pria ini ku taksir berusia tiga puluh tahunan. Pria pekerja keras, ia bahkan bisa mengerjakan pekerjaan lainnya sambil mewawancaraiku.

"Iya, Pak."

Segera kubuka tas dan mengambil amplop berukuran dua puluh lima kali tiga puluh lima sentimeter itu kemudian mengangsurkan kehadapannya.

"Taruh saja di meja." serunya masih fokus pada laptopnya.

"Bisakah saya mendapatkan jawabannya hari ini, Pak?" tanyaku tanpa ragu.

Aku harus menanyakannya sekarang, tak bisa menunggu. Pria yang bernama Somad itu memandangku, akhirnya aku berhasil mengalihkan tatapannya dari laptop yang sedari tadi menyita perhatiannya.

BENALU YANG TAK TERLIHAT(Tamat)Where stories live. Discover now