Bab 11

142 8 0
                                    

    Raut wajah ibu nampak begitu khawatir saat aku pulang. Dengan tergopoh-gopoh wanita yang kini memakai daster panjang motif bunga itu menyambutku turun dari motor.

"Kok sampai sore, Nduk?" sapa Ibu membimbingku masuk rumah.

"Haus, Bu. Minum dulu." jawabku kemudian tanpa menjelaskan alasanku pulang terlambat.

Ibu segera mendahuluiku kedapur, selalu begini, selalu melayaniku.

"Sari bisa ambil sendiri, Bu."

Protesku menerima uluran segelas air, menyesapnya pelan hingga tak bersisa.
Kujatuhkan bokongku kekursi sementara mataku mengedarkan pandangan, mencari Bapak.

"Bapak sedang tidur."

Aku ber O ria, tanpa bertanya Ibu seolah tahu isi pikiranku. Walaupun nyatanya hubungan kami hanya sebatas Ibu dan anak asuh, tapi semua tentangku Ibu tahu. Membuatku terkadang tak terima dengan takdirku.

"Sari udah dapat kerja, Bu." seruku pelan sambil melepas tas.

Walaupun tanpa bertanya, pasti kalimat ini yang di tunggu oleh Ibu. Wajah Ibu menyuram, sangat lucu. Biasanya orang akan bahagia mendengar anaknya dapat pekerjaan, tapi berbeda sekali dengan wanita di depanku ini.

"Di mana?"

"Di Krian, Bu."

"Krian Sidoarjo? "

Ibu nampak gelisah mendengar jawabanku, raut wajahnya makin suram.

"Krian sebelah sini, Bu. Dekat kok." jelasku mencoba menghiburnya.

"Nduk, Ibu nggak tega. Sedari kecil kamu sudah kerja, Nak. Jangan memaksakan diri."

Perkataan Ibu membuatku ikut merengut. Ibu terkadang berlebihan dalam menjagaku. Oke, mungkin semua orang tua akan melakukan hal yang sama kepada anaknya, tak ingin anaknya susah dan sengsara. Mungkin Ibu bersikap begini karena merasa bersalah melihatku bekerja sejak remaja, tapi, membuat mental seorang anak down bukan hal yang bisa di benarkan, Bukan? Ketakutan dan kekhawatiran seorang Ibu yang berlebihan bisa membuat kami, anaknya menjadi rendah diri dan insecure.

"Sayangnya, Sari sudah mulai kerja, Bu. Mulai tadi." jawabku datar sambil menyunggingkan senyum berharap Ibu paham akan keputusanku.

Ibu masih menatapku dengan ekspresi yang sama . Ia menghela nafas panjang sebelum masuk ke kamar setelah mendengar suara batuk dari sana.

*****
      Rumah sudah sepi, semua penghuni kayaknya sudah pada bermimpi indah. Tinggal diriku yang masih belum bisa memejamkan mata lagi. Dua jam lalu aku terbangun dari tidur, mungkin kecapekan, aku ketiduran dari sore. Saat hendak ke kamar mandi kulihat Bapak masih belum tidur. Lelaki itu tengah duduk sambil berbicara sendiri.

Setelah hajatku ke kamar mandi tuntas, aku tak langsung masuk kamar. Tetapi memperhatikan Bapak dulu dari tempat duduk depan kamarku, sampai kemudian aku tak lagi mendengar suaranya. Baru aku tenang.

Sayangnya sampai beberapa jam kedepan nyatanya mataku tak mau terpejam. Badanku terasa sangat letih, persendian seperti baru saja dipukuli orang sekampung. Aktivitas seharian kemarin memang cukup membuatku capek.

Flashback.

    Berbekal selebaran yang di bawa Bulek tempo hari, aku membawa motorku siang tadi menuju ke arah utara. Sebenarnya moodku masih buruk akibat perlakuan supervisor swalayan tadi. Tapi tekadku untuk mendapatkan pekerjaan mengalahkan segalanya. Aku bertekad sebisa mungkin tujuan ketigaku ini harus membuahkan hasil. Aku tidak boleh pulang dengan tangan kosong.

Rumah megah bergaya modern kini ada di depan mataku. Kucocokan alamatnya dengan tulisan selebaran yang sedang ku pegang. Sama. Meskipun swdikit ragu akhirnya kuberanikan diri untuk menekan bel.

Alasan utama keraguanku adalah di selebaran ini hanya tertulis 'kerja part time' tak ada penjelasan apapun. Salah satu penyebab akhirnya kuputuskan mendatanginya terakhir kali.

Seorang lelaki berseragam Security menyambutku. Ia kemudian mempersilahkanku masuk setelah mendengar penjelasanku. Lelaki berbadan tegap itu masuk kedalam sebuah ruangan. Aku mengikutinya dari belakang. Rumah sebesar ini sangat sepi, cat dindingnya didominasi warna putih, sedang lantai marmer yang tengah kuinjak ini berwarna putih tulang yang malah terkesan misterius buatku.

Security itu membawaku memasuki lorong yang tembus ke sebuah ruangan terbuka, ruangan yang sedikit melegakan sesakku sedari tadi. Ia kemudian memintaku menunggu sebentar, sementara ia masuk sendiri.

Setelah beberapa saat menunggu, di sinilah aku sekarang. Berada di sebuah ruangan yang auranya terasa ... Sebenarnya pekerjaan apa yang hendak aku lamar ini? Haruskah aku berubah pikiran? Jangan-jangan aku sedang ada di rumah seorang penjahat?

"Anda mau kemana?" ketika aku hendak berbalik tiba-tiba sebuah suara mengejutkanku. Membuatku terpaksa menghentikan langkah.

Dihadapanku sekarang nampak seorang wanita yang  sangat anggun, ia memakai  busana bergaya modern. Wanita itu tengah menatapku dengan mata angkuhnya.Rambut wanita itu sebahu, memiliki netra tegas yang auranya mampu meluluhkan siapa saja. Wanita yang kutaksir usianya belum genap empat puluh tahun itu mempunyai garis wajah tegas dengan bibir tipis. Dan bibir itu kini menyambutku dengan senyuman. Seperti meremehkan. Baru bertemu pertama kali saja, aku sudah bisa menebak siapa dia, dia pasti Nyonya di rumah ini. Penguasa di sini.

"Saya mau melamar kerja. Tapi sepertinya saya salah alamat." jawabku cepat.

Secepatnya aku harus pergi. Aku bukan orang yang mudah terintimidasi, tapi aku juga tidak mau bekerja di tempat yang tak jelas seperti ini. Bayanganku tadinya, alamat selebaran ini adalah sebuah pergudangan atau perkantoran atau setidaknya sebuah toko. Tapi nyatanya?

Wanita itu mendekat, melirik selebaran yang masih kupegang. Membuatku mendongak, paham maksudnya.

"Ini memang kami yang buat," ucapnya setelah selebaran itu kini berada ditangannya.

Suara datarnya berhasil membuat bulu kudukku meremang seketika. Sangat mengintimidasi.

"Anda tak salah alamat."

Perlahan aku mundur ingin kabur. Bayangan Ibu sekelebat dihadapanku. Apakah ini akibat aku tak menurut padanya? Apakah aku bisa keluar dari sini sekarang? Rumah ini sangat besar.

"Saya belum punya pengalaman bekerja." kataku berusaha menyembunyikan kecemasan. Sebenarnya Itu hanya salah satu alasanku untuk kabur. Berharap hal itu membuat wanita itu membiarkanku pergi.

"Anda seperti ketakutan?"

Oh, suara wanita ini mengejekku. Dia bahkan menyeringai dengan wajah tegasnya.

"Kalau saya boleh tahu, pekerjaan apa yang sedang di butuhkan di sini?"

Dari dulu setiap mendapatkan ejekan dari teman, bukannya takut, aku malah tertantang. Di remehkan orang lain adalah salah satu hal yang tak akan kubiarkan terjadi.

Mendengar pertanyaanku membuat wanita itu sedikit melembut. Ia berbalik menjauh kemudian mengambil sebotol minuman.

"Minum dulu, sepertinya anda dari tempat jauh."

Tentu saja penawarannya kutolak. Aku harus tetap waspada dengan orang baru. Bagaimana kalau dalam botol minuman itu ada racun berbahaya? Aku belum mau mati sia-sia. Aku ingin hidup lebih lama sehingga bisa membahagiakan orang tuaku.

Wanita itu sepertinya paham alasanku menolak tawaran minumnya, tanpa bertanya lebih jauh ia memintaku mengikutinya.

Sekarang, aku di bawa kemana lagi?
Semoga saja dugaanku meleset kali ini. Rumah ini bukan rumah penjahat yang sedang mencari orang suruhan dengan berkedok pekerjaan part time.

Tbc

Klik bintangnya yuk😍

BENALU YANG TAK TERLIHAT(Tamat)Where stories live. Discover now