Bab 19

107 5 0
                                    

    Dari tempat kerja aku sampai pukul delapan malam. Sedikit lebih cepat, padahal kulajukan motorku pelan-pelan saja demi menikmati angin malam yang begitu sejuk dan sepoi-sepoi. Sayang rasanya kalau di biarkan begitu saja.

Kurasa rumah sedang ada tamu. Ada dua motor asing tengah terparkir di halaman. Salah satunya motor gede.

Kulangkahkan kakiku setelah mengucap salam. Nampak di kursi tamu ada empat orang. Tidak. Ada lima orang termasuk Bapak sedang mengobrol. Dan salah satu dari mereka adalah Bima.

Pria itu memakai atasan kemeja berwarna putih dengan bagian lengannya tergulung keatas. Rambutnya tampak rapi dengan belahan pinggir segaris. Tubuhnya yang proporsional itu begitu mencolok dibandingkan tamu lainnya. Tentu saja, dia dari dulu paling dominan daripada teman-temannya. Di tambah tadi saat aku masuk dia seperti sengaja berdiri sambil tersenyum ke arahku.

"Nah, akhirnya yang di tunggu datang." sapa Pak lurah yang baru kusadari kehadirannya. Saat masuk tadi terlihat punggungnya saja dari belakang.

Ibu menyongsongku, membisikkan sesuatu ke kupingku sehingga memaksaku segera masuk kamar lalu bersih-bersih sebentar, sebelum menemui mereka.

Tak sampai sepuluh menit aku keluar, memilih duduk di samping Bapak yang kini sibuk rebahan di dipan. Mata kami sempat bertemu beberapa detik sebelum Bapak kembali dengan dunianya sendiri. Aku bersyukur, malam ini Bapak tenang diantara banyak orang.

"Kerja di mana, Mbak Sari?" tanya Pak lurah, aku tahu pertanyaannya hanya sekedar basa basi.

"Di Krian, Pak."

"Hati-hati kalau pulang. Ibu tadi cerita, Mbak Sari pulangnya malam."

Aku melirik Ibu sekilas berniat protes tapi aku mengiyakan pesan Pak lurah.

"Begini, kami datang untuk menindaklanjuti jual beli tanah pekarangan belakang, "

Pak lurah mulai bicara ke tujuan awal mereka bertamu.

"Ini, Pak Haji Fauzi selaku pihak pembeli, terus di sebelahnya itu ada Pak Adit selaku notaris, dan Nak Bima dari perbankan sekaligus akan menjadi saksi dalam jual beli ini .... "

Pembicaraan selanjutnya membahas tentang seputar tanah, sebenernya orang awam sepertiku tidak terlalu faham. Walaupun notaris sudah menjelaskan sedetail mungkin, aku dan Ibu dipaksa berusaha keras agar paham dengan obrolan mereka. Untung saja ada Bima. Dia seperti mengerti kebingunganku. Pria itu kemudian menjelaskan ulang dengan bahasanya yang lebih mudah ku pahami.

Setelah hampir satu setengah jam, pembicaraan penting itu akhirnya mendapatkan kata sepakat. Walaupun ada satu dua hal yang masih belum ku pahami betul, tapi hadirnya Bima membuatku lebih tenang.

"Kamu pasti belum makan, Sar."

Bima tak langsung pulang, ia seperti sengaja berlama-lama di sini.

"Belumlah. Tadi kamu lihat sendiri, baru datang langsung nemuin kalian."

"Temani aku makan nasgor dekat lapangan, yuk."

Hah?

"Yuk, tadi aku langsung kesini habis kerja. Sekarang lapar. " Bima memakai sepatunya. Penampilannya memang persis orang baru pulang kerja. Kemeja putihnya juga tampak lusuh.

Pemuda itu sudah banyak membantu tadi, walaupun aku tahu bantuannya memang bagian dari pekerjaannya. Tapi tak ada salahnya 'kan kalau aku terima ajakannya? Cuma makan nasgor doang, tempatnya juga nggak jauh dari rumah.

"Boleh, deh. Aku ambil jaket dulu."

Senyum Bima mengembang. Wajahnya yang tegas itu terlihat berseri-seri.

BENALU YANG TAK TERLIHAT(Tamat)Where stories live. Discover now