Bab 26

107 6 0
                                    

Sejak hari itu, hari dimana aku menanyakan perihal Dewi Rumadani pada Ibu, sikap Ibu sekarang kembali seperti semula, seperti sebelum peristiwa kebakaran beberapa bulan lalu. Air muka Ibu tak lagi ceria.

Iya, Ibu tetap menyapaku seperti biasa, masih membangunkanku tiap pagi, masih menjaga toko setiap hari, tapi keceriaan itu seakan luntur, membuatku canggung untuk membahasnya lagi.

Setelah kejujuran soal asal usulku terungkap, kupikir Ibu sudah mempercayaiku sepenuhnya, Tetapi melihat sikap Ibu seperti ini lagi, malah membuatku ragu, apa yang Ibu ceritakan dulu fakta.

"Nduk, Ibu mau kredit mobil bak terbuka, untuk kulakan. Biar tidak dobel bayar ongkir kalau ada yang ngirim barang."

Aku mengerutkan dahi, kalau Ibu beli mobil, siapa yang mau nyetir?

"Mas El yang akan nyetir, dia bilang pendapatnya ojolnya akhir-akhir ini menurun. "

Seperti cenayang Ibu menjawab apa yang ada di pikiranku.

Pria itu lagi.

Semakin hari tingkah pria itu semakin mencurigakan, ia seolah-olah mencari muka, baik dihadapan Bapak maupun Ibu.

"Ibu sudah percaya sepenuhnya sama dia? Dia kan baru di sini, Bu."

"Dia baik, Nduk. Tiap sore yang jagain Bapakmu kalau kamu kerja, siapa? Ya dia. Ibu nggak sempat kebelakang."

Memang, toko ibu kalau sore sangat ramai. Kebetulan rumah kami berada di pertigaan jalan, banyak rumah kontrakan pula di sini.

"Ibu nggak capek jaga toko sendiri?" tanyaku mengeluarkan sabun dari kardus kemudian menatanya satu persatu ke estalase.

"Ya capek. Tapi mau gimana lagi, nggak mungkin Ibu berdiam diri dirumah tanpa kegiatan. Punya anak gadis suruh berhenti dari tempat kerja juga nggak mau."

Aku meringis mendengar sindiran Ibu. Tapi aku yakin sekarang Ibu sudah merestui pekerjaanku.

"Memang berapa perbulannya, Bu. Nanti Sari bantu sedikit mengangsur."

"Nggak perlu. Gajimu sudah kamu buat berobat Bapak, nanti kalau kamu butuh apa-apa gimana? "

"Eeh, Ibu lupa? Gaji Sari gede lho, Bu."

Tawa Ibu muncul, membuatku tersenyum lega.

"Wis, mending uangmu di tabung, masa depanmu masih panjang."

Obrolan kami terputus karena ada pembeli datang.

****
Langit tampak mendung ketika aku hendak berangkat kerja. Angin juga lumayan kencang menimbulkan suara-suara beradu dari atas esbes. Aku masih berdiam di dalam toko, sementara Ibu sibuk mengurus Bapak di belakang.

Kutengok jam tanganku, sudah telat lima belas menit dari biasanya. Selama bekerja aku belum pernah minta cuti, apa sekarang aku libur saja ya? Cuaca sedang tidak bersahabat. Kalaupun tetap nekat berangkat, pasti akan kehujanan di jalan.

"Sari mau berangkat, Pak."
Itu suara Ibu yang samar- samar kudengar.

Kubuka pintu belakang toko untuk bergabung dengan mereka.

"Bapak, kalau menurut Bapak sebentar lagi hujan, nggak? "

Ibu menatapku heran, sedangkan Bapak diam saja seperti tak mendengar.

Aku menghela nafas mencoba bersabar, akan ku coba sekali lagi.

"Sebaiknya Sari berangkat sekarang atau nanti-nanti saja?"

Ibu yang akhirnya sadar maksud dari ucapanku mengulanginya untukku.

Bapak memandangku lalu mengangguk beberapa kali. Bolehkah kuanggap reaksi Bapak tadi sebagai jawaban?

BENALU YANG TAK TERLIHAT(Tamat)Where stories live. Discover now