Bab 21

129 5 0
                                    

Beberapa bulan kemudian

    Ibu tengah membongkar kardus-kardus untuk diambil isinya kemudian ditata di estalase yang sudah tersedia, saat aku baru terbangun gara-gara kebelet. Menguap malas sembari duduk di kursi tamu di belakang kios, kulihat betapa lincahnya wanita yang telah membesarkanku itu kini.

Ini sudah hampir jam sepuluh siang. Gara-gara nonton DMS secara maraton semalam, aku baru bisa tidur hampir dini hari. Padahal aku tetap harus bangun demi menunaikan kewajibanku tiap subuh.

Setelah tanah pekarangan terjual, uang sisa bayar hutang di jadikan modal usaha oleh Ibu. Karena tak lagi bekerja ikut orang, Ibu akhirnya membuka toko sembako di rumah. Sedangkan aku masih tetap bekerja di rumah Nyonya Farah meskipun Ibu masih saja seperti tak rela.

"Kamu habis subuhan tidur lagi to, Nduk?"

Aku tak perlu menjawab, Ibu pasti sudah tahu jawabanku. Sambil mengucek mata yang masih ngantuk aku kembali menyelinap kekamar.

"Mau tidur lagi?"suara Ibu cukup keras membuatku mengurungkan niat.

"Mumpung libur, Bu."rengekku melanjutkan masuk kamar.

Sejak punya gaji yang lumayan, aku mulai mencari tahu soal pengobatan yang tepat untuk Bapak. Dengan cara beberapa kali berkonsultasi ke puskesmas terdekat. Dan di sanalah aku bertemu dengan beberapa dokter umum sebelum kemudian dianjurkan ke dokter spesialis.

Dokter tersebut bilang, orang-orang seperti Bapak ini sebisa mungkin harus di beri kegiatan, harus sering diajak komunikasi agar tidak melamun. Sayangnya untuk poin yang kedua rasanya masih sulit, Bapak masih sering mengacuhkanku. Tatapaannya selalu datar saat kuajak ngobrol. Dia akan sibuk sendiri kala aku berusaha mendekatinya

Bima, pemuda itu memiliki andil dalam proses pencarianku menemukan Dokter yang tepat. Dialah yang merekomendasikan Dokter Asyifa pada kami. Membawa kami ke sana, lalu menemaniku mengurus prosesnya serta segala macam keperluan awal pengobatan.

Aku tahu maksud pria itu. Sebagai wanita yang sudah bisa di bilang dewasa, aku paham. Saat ini Bima tengah mencoba mendekatiku. Tidak mungkin ada pria sukarela melakukan banyak hal kalau tidak ada niat apapun. Walaupun dia belum pernah bilang secara blak-blakan, aku mengerti maksud kebaikannya selama ini.

"Mau kemana hari libur?"

Bima sudah mengirimiku pesan lewat aplikasi chatting sejak pagi. Dia memang selalu rajin melakukannya.

Kurasa membalasnya sekarang sudah sangat terlambat bukan? Ini sudah siang, sedangkan dia mengirim pesan jam tujuh pagi. Mengabaikan pesannya tidak akan berpengaruh apapun bukan?

    Kantuk yang tadi kurasakan hilang begitu saja. Sehingga kuputuskan menutup aplikasi chat itu kemudian membuka aplikasi lain dengan tujuan mencari informasi tambahan tentang sakit yang di derita Bapak.

Sambil membuka artikel-artikel itu, aku berusaha mengingat tentang apa saja tindakan yang pernah Bapak lakukan, kemudian mencocokkan dengan artikel tersebut. Membuatku menemukan kesamaan. Tapi sebagai orang awam, mana mungkin aku berani mengambil kesimpulan?

Pertama kali datang ke Dokter, Dokter hanya menanyaiku sekilas tentang identitas Bapak, kemudian bergantian  Bapak yang di tanya dengan pertanyaan yang sama, entah untuk apa tujuannya.

Pertemuan kedua, Dokter memberi semacam kuesioner untuk Bapak. Ada beberapa poin pertanyaan di sana dimana Bapak harus mengisinya. Bapak bisa mengosongkan pertanyaan tersebut apabila tidak bisa menjawab.

Saat itu Bima menemani kami. Bapak cukup tenang saat mengisi pertanyaan-pertanyaan itu, menepis kekhawatiranku. Dan ada hal yang membuatku tercekat adalah saat Bapak mengisi kuesioner, Bapak ternyata mampu mengisi kuesioner itu dengan tepat.

BENALU YANG TAK TERLIHAT(Tamat)Where stories live. Discover now