Bab 24

103 4 0
                                    

   Kalau ditanya, kapan hari Minggu paling santai selama hidupku? Jawabannya, Ya, hari ini. Seperti bebas merdeka.

Ibu sedang mengantarkan Bapak Ruqyah bersama relawan yang sengaja menjemput. Tadi rencananya aku juga akan turut serta, tapi ternyata mobilnya sudah tidak muat. Karena tidak hanya kami yang ada dalam rombongan itu.

Kulirik jam dinding kamar, sudah sore rupanya. Sebenarnya tadi pagi Bima mengajakku keluar, tapi ya sudahlah, aku juga nggak sengaja ketiduran.

Kuraih ponsel yang tergeletak di nakas samping tempat tidur dan saat kubuka, rupanya banyak sekali panggilan masuk, dari Bima. Kemudian ada juga sepuluh pesan masuk, semua dari pemuda itu juga. Ah, kali ini mungkin kesalahanku bisa sampai ketiduran, Bima pasti menunggu.

"Hai, Bim. Maaf aku tadi ketiduran."
sapaku setelah beberapa menit lalu kuputuskan menghubunginya.

"Pantesan nggak bisa dihubungin. Sekarang gimana?"

Aku menimbang-nimbang, ini sudah jam setengah tiga sore. Kalaupun keluar, pasti tidak bisa lama.

"Memang mau kemana, sih?"

"Sony nggak ngundang kamu? Hari ini empat bulan kehamilan istrinya, Sar."

Bima tidak tahu saja, kalau aku hanya kenal mertua Sony. Bibiku.

"Kamu aja deh yang datang, udah kesorean, nih."

Alasanku sebenarnya, karena risih kalau harus bertemu lagi dengan Fikar dan istrinya. Aku sudah tidak ada perasaan apapun padanya, tapi untuk bertemu sering-sering kayaknya nggak deh.

"Memang sore acaranya, Sar. Ayolah, aku tadi sudah terlanjur bilang Nayya kalau kamu bakalan ikut."

Aku menghela nafas kesal. Bima selalu memutuskan semuanya sendiri.

"Ya sudah. Aku siap-siap." pungkasku.

****
    Menunggu memang bikin bete. Bima tadi bilang kalau dia sudah otw, tapi ini sudah sejam lebih kenapa dia belum datang? Seandainya kalau tidak jadi, harusnya dia memberi kabar, biar aku bisa ganti baju.

Percuma rasanya sudah dandan secantik ini kalau nggak jadi kemana-mana. Mana tadi aku sudah berusaha semaksimal mungkin demi tidak ingin kalah cetar dari Nayya.

Nayya itu selalu berhasil membuatku iri dalam hal penampilan. Dia selalu tampil soldout. Hal itu seakan memicuku untuk terlihat lebih baik setiap kali mau bertemu dengannya. Seolah ada semacam perasaan ingin membuktikan pada Fikar kalau aku tetap baik-baik saja walaupun sudah ia campakkan.

Di tengah lamunan Ponselku kembali berdering. Ada nama Bima di sana.

"Jadi, nggak?" sapaku ketus saking jenuhnya menunggu. Kebiasaan jelekku yang nggak pantas untuk ditiru siapapun juga.

"Jadi, Sar. Tapi ban motorku bocor. Kamu bisa nggak datang sendiri dulu, atau kamu kesini saja, nanti kita barengan kesana pakai motor kamu."

Dua-duanya bukan pilihan yang keren. Mana mungkin aku akan datang pakai motor sendiri dengan berpakaian seperti ini?

"Aku nggak ikut saja deh, Bim."

"Jangan dong, Sar. Kamu sudah cantik gitu, sayang kan kalau nggak ikut."

Ku jauhkan ponselku memastikan kami sedang tidak video call. Dari mana tahu kalau aku cantik?

"Hei! Darimana kamu tahu kalau aku cantik?" protesku.

Nada bicaraku memang ngegas, tapi aku yakin sekarang pipiku tengah bersemu.

BENALU YANG TAK TERLIHAT(Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang