Bab 30

100 6 0
                                    

Ada sedikit adegan dewasa, yang masih sekolah, bisa skip ya. Atau lompatin aja hehehe

18+

"Adek, kenapa sih nggak mau makan?"

Sudah hampir satu jam lebih aku membujuk Sania untuk makan sore. Ini sangat tidak biasa, bocah itu belum pernah mogok makan seperti ini. Apa dia bosan menunya? ini kan menu favoritnya.

"Nggak mau!" Sania malah sengaja menutup bibirnya dengan kedua tangan.

Aku menyerah. Sedari tadi berlarian sambil membawa mangkok karena Sania terus kabur, membuatku ngos-ngosan.

"Kalau kakak buatin jus, mau?"

"Mau ... "

Aku menghela nafas, kenapa tidak dari tadi saja aku tawarkan jus padanya.

Dengan mengatur napas kulangkahkan kakiku menuju dapur yang letaknya di samping tangga ruang keluarga. Dapur bergaya modern ini begitu rapi, maklum dapur orang kaya yang jarang di pakai. Berbeda dengan dapurku yang nggak karuan.

Aku tersentak tatkala membuka kulkas tanganku tak sengaja bersentuhan dengan tangan seseorang, membuatku mendongak.

"Maaf." ucapku mundur, mempersilahkan tuan muda keluarga ini melanjutkan niatnya.

Nando mengambil irisan buah pepaya lalu membawanya pergi. Tapi yang membuatku risih adalah tatapan pemuda itu, aku tahu arti tatapan itu. Tatapan melecehkan.

Usia Nando kutaksir empat tahunan lebih tua dariku. Selama bekerja di sini belum pernah sekalipun aku bersinggungan dengannya kecuali saat itu, hari ulang tahun Nyonya.

"Tara ... Jadi deh jusnya."

Sania melompat kegirangan ketika aku kembali ke ruang depan untuk menemuinya. Bocah polos itu langsung menyambar segelas jus alpukat buatanku kemudian meminumnya dengan gembira.

Kebetulan rumah sedang sepi, Mbok sudah seminggu ini pulang kampung,  Nyonya sedang pergi dan saat aku datang dan kami berpapasan bilang, akan pulang terlambat. Aku di minta menginap saja.

Ini pertama kalinya aku menginap di rumah mewah ini. Siapa sangka rumah yang dari luar terlihat begitu megah dan banyak di impikan orang ini dalamnya ini sangat sepi, penuh kehampaan.

   Aku merebahkan punggungku di samping Sania yang sudah tidur. Setelah drama beberapa saat lalu, akhirnya aku berhasil juga membuatnya tertidur. Tak lupa aku memberi kabar pada Ibu dan Bima bahwa hari ini tak pulang.

Malam belum larut, kantukku tak juga datang. Karena merasa bosan aku memutuskan untuk bangkit dari kasur. Kemudian dengan pelan berjalan ke arah bufet yang sedari tadi menarik perhatianku. Bufet ini mewah, penuh dengan pernak pernik yang kutebak hadiah dari souvenir pernikahan. Selain itu ada foto keluarga,tapi dari sekian banyak foto, wajah cantik Sania mendominasi foto-foto itu. Bocah kecil itu sejak bayi memang menggemaskan.

Lalu tiba-tiba saja mataku tertarik dengan satu foto berbingkai yang letaknya ada di belakang. Seandainya tidak teliti, foto itu mungkin tidak terlihat. Karena memang tertutupi dengan foto lain. Bentuknya juga sudah kusam mungkin karena termakan usia. Lalu entah dapat dorongan dari mana aku meraih foto itu, menatapnya sejenak,  sepertinya tak asing?

Foto bayi perempuan yang kutaksir berusia lima bulanan terlihat sehat. Bayi itu sedang tengkurap dengan wajah melihat ke arah kamera, lumayan cantik walaupun tidak secantik Sania. Beberapa saat kubandingkan foto itu dengan foto bayi Sania, tak mirip. 

Akhirnya kuletakkan kembali foto itu karena tak juga menemukan jawaban, aku tak berminat memeras otakku demi sesuatu yang tak menguntungkanku. Itu hanyalah sebingkai foto tua, tak ada hubungannya denganku, mungkin saja itu foto masa bayinya Nyonya Farah.

BENALU YANG TAK TERLIHAT(Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang