Bab 6

194 17 0
                                    

    Aku meraih punggung tangan Ibu ketika beliau pamit kerja. Semalam kami sudah bicara tentang tawaran Bulek tempo hari. Ibu bilang, akan diskusi dulu dengan majikannya.

Sedari tadi Bapak tidak kelihatan. Biasanya saat Ibu berangkat kerja, Bapak selalu duduk di kursi panjang yang letaknya ada di depan rumah. Seolah Bapak mengantar istrinya berangkat kerja. Aku sempat bertanya pada Ibu Bapak kemana, dan Ibu bilang, Bapak tadi berjalan ke arah ujung jalan, jalan buntu.

Segera kuraih sweater karena pagi ini masih sangat dingin. Tujuanku adalah rumah kosong yang letaknya tidak terlalu jauh dari rumah Bulek. Biasanya Bapak akan betah berlama-lama di sana. Dan biasanya secara diam-diam aku mengawasinya dari rumah sebelah.

Sepanjang perjalanan aku berpapasan dengan beberapa orang yang hendak ke kebun, mereka membawa peralatan seperti sabit, cangkul dan tak sedikit dari mereka berjalan sambil memikul pupuk kandang. Kesuburan tanah di desa ini membuat mayoritas warganya bekerja sebagai petani sayuran. Di mana hasilnya setiap hari akan di ambil oleh tengkulak kemudian di jual ke pasar-pasar besar.

Aku terus melangkah pelan. Jarak pandang masih kabur karena pagi ini berkabut. Selama melangkah mataku terus waspada berharap semoga bertemu Bapak di jalan sehingga bisa langsung membujuknya pulang, karena Bapak belum sarapan.

   Seketika Kakiku terhenti tatkala melihat pemandangan yang ada di depanku sekarang. Bapak sedang bicara dengan siapa itu? Kenapa pemuda itu seperti sangat akrab dengan Bapak? Mereka kenal di mana? Tiba-tiba rasa iri akan keakraban mereka muncul tanpa ku undang. Bapak ternyata bisa tertawa, hal yang sangat mustahil kutemui.

Untuk sesaat aku terpaku, hingga tanpa kuduga, mata pemuda itu bertubrukan dengan mataku tanpa sengaja. Kami saling menatap untuk beberapa detik. Tatapan penasaran.

Diantara kami berdua, akhirnya aku yang memutus aksi saling tatap itu. Lalu kualihkan pandanganku ke arah Bapak yang sepertinya sudah kembali sibuk dengan dunianya sendiri. Bapak merancau pelan dengan ekspresi datar, sama seperti yang kulihat setiap hari.

"Pulang, Pak."

Tanpa mengindahkan pemuda  yang masih menatapku itu, aku bersimpuh di hadapan Bapak.

"Bapak kamu?"

Suara pemuda itu mengalihkan pandanganku. Ia mengernyitkan dahi menunggu jawabanku.

Aku berdiri lalu mengambil tempat di samping Bapak. "Iya."

Ekspresi pemuda itu seketika berubah. Ia yang tadinya ramah kini memasang wajah sinis dengan tatapan yang sulit di artikan.

Sebenarnya aku menunggu dia membuka obrolan lagi, tapi sepertinya tak ada lagi hal penting yang perlu kami bicarakan. Sehingga aku memutuskan untuk melanjutkan membawa Bapak pulang.

"Ayo, Pak."

Untungnya Bapak manut, lelaki yang kusadari ubannya mulai tumbuh banyak itu bangkit dan membiarkan lengannya ku apit.

"Bapak 'kan belum makan." kataku sembari membawanya ke jalan pulang.

"Makan."

"Iya, Pak,"

Dadaku membuncah mendengar Bapak menyahut. Ini pertama kalinya Bapak merespon kala kuajak berbicara.  Kurasai mataku menggenang, menahan haru. Sementara bibirku tanpa sadar melengkung ke atas.

"Sari masak enak buat, Bapak."

Suaraku berubah seperti mencicit. Pelan tapi masih bisa di dengar. Bapak tak menyahut tapi langkah kakinya membuatku yakin Bapak tengah semangat untuk pulang dan mencicipi masakanku.

"Hai, kamu!" Tiba-tiba ada suara yang menginterupsi kebahagiaanku dari belakang.

Pemuda itu memanggilku. Ia berjalan menghampiri kami. Membuat langkahku terhenti.

"Ya?" Aku mendongak. Aku merasa tak ada urusan apapun dengan pemuda ini.

Dia menatapku dari ujung rambut sampai kaki, seperti mengulitiku.

Tak sopan!

"Ada apa? "

Suaraku sedikit meninggi. Dari dulu aku paling risih di perlakukan seperti ini.

"Aku pernah lihat kamu. Tapi di mana ya? "

Dia tetap menatapku dengan mata cantiknya, membuatku jengah. Segera saja kuajak Bapak melanjutkan langkah. Tidak ada gunanya meladeni pemuda seperti ini. Aku yakin pemuda ini terbiasa tebar pesona dengan cara ini kepada lawan jenisnya.

"Aku belum selesai ngomong! "

Pemuda itu kembali mengejar. Nada bicaranya seperti jengkel karena ku abaikan.

"Kami harus segera pulang." Sebisa mungkin aku menahan emosiku sekarang. Aku mengingatkan diriku sendiri, ada Bapak di sini.

"Semoga saja dugaanku tidak benar, "
Pemuda itu menjeda ucapannya. Membuatku mengernyit tak paham.

"Kamu bukan cewek yang menurunkan Bapak ini di jalan pakai becak beberapa bulan lalu ''kan? "

Bersambung.


Part terpendek yessss

BENALU YANG TAK TERLIHAT(Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang