Bab 43

97 3 1
                                    

"Di cariin Mas El tuh." panggil Ayana, teman sesama pramusaji di kafe tempatku bekerja.

Aku mengangguk paham, pria itu memang tidak pernah mau di layani siapapun selain diriku.

"Apa? " sapaku setelah berada dihadapannya.

"Darimana?"

"Toilet. Mau minum apa?"

Walaupun kami kenal, sebagai karyawan di sini aku harus tetap menomorsatukan kenyamanan pembeli.

"Biasanya."

"Masih pagi El. Kamu juga pasti belum sarapan."

Dia memandangku dengan tatapan yang sulit kuartikan. Kagum? Kaget?

"Kalau gitu apa aja deh, yang menurut kamu cocok buatku." bisiknya membuatku menelan ludah. Lagi-lagi.

Dengan menahan degupan yang selalu saja mengganggu ini aku berbalik, membuatkan pemuda ini minuman secepatnya adalah solusi terbaik.

"Makasih, Bu Sari." katanya sambil nyengir saat aku meletakkan segelas teh hangat di hadapannya.

"Ya." jawabku singkat. Kabur secepatnya.

Semakin siang kafe ini semakin ramai. El sudah tidak terlihat di mejanya. Ia pasti sedang ada orderan atau sedang pulang. Biasanya kalau siang begini, pemuda itu akan pulang untuk istirahat atau terkadang karena Ibu sedang membutuhkan bantuannya.

Ayana mengedipkan mata padaku dari jauh. Gadis berambut sebahu itu minta bantuan.

"Apa Yan? "

"Kamu sadar nggak dua orang itu dari tadi mencurigakan."

Mataku kuarahkan ke arah yang dituju Ayana. Ada dua pemuda berpenampilan modis tengah menatap kami.

Aku mengangkat bahu karena tak menemukan kejanggalan.

"Coba deh kamu samperin. Tadi sih sudah pesan."

"Kok aku?"

Aku paling nggak suka di suruh-suruh. Apalagi yang memerintah sama-sama karyawan.

"Aku lagi buat pesanan. Kamu nggak lihat?"

Sambil mendengkus kulangkahkan kakiku ke arah meja dua pemuda itu.

"Mohon maaf, apa ada yang bisa saya bantu. Barangkali mau pesan dessert atau minuman lagi?" tanyaku memasang senyum ramah.

Dua pemuda itu saling pandang sesaat sebelum salah satu dari mereka membuka suara.

"Boleh nanya nggak, Mbak? Kami bukan orang sini. Kebetulan kami sedang mencari teman, ada yang bilang kalau dia suka nongkrong di sini."

Aku menghela nafas.

"Boleh."

"Pernah lihat orang ini nggak, Mbak?" Pemuda satunya menunjukkan layar hape padaku.

Aku mengernyit karena gambar di hadapanku ini sangat familiar. Tapi aku nggak mau jujur terlebih dahulu. Aku harus mengorek sesuatu dulu. Siapa mereka dan niat mereka.

"Mmm ... Kayaknya nggak asing ... "

"Tuh, apa aku bilang. Harusnya sedari tadi kita nanya, Bon." Pemuda berkaos hitam sampai menggebrak meja pelan.

"Wah, jadi Mbak tahu Rafa?"

Cara manggilnya seperti Fibri, Fix. Tak salah lagi, pasti kedua orang ini kenal El sudah lama.

"Minum dulu dong, Mas. Biar saya buatin. Nanti lanjut ngobrolnya."

Di sini adalah kafe, aku nggak mau mereka ngobrol doang.

BENALU YANG TAK TERLIHAT(Tamat)Where stories live. Discover now