Bab 48

96 6 2
                                    

    Sudah hampir setengah tahun sosoknya tak pernah kulihat. Bahkan akhir-akhir ini aku cenderung sudah tak lagi memikirkannya. Tapi kini pemilik senyum favoritku itu tengah berdiri tegap di hadapanku bersama keluarganya. Berhadapan langsung denganku yang berdiri kaku menatapnya.

Wira mengapit lenganku saat mereka berjabat tangan. Kurasai mata itu bagaikan pedang yang siap menghunus kapan saja tatkala jabatan tangan itu terurai.

"Bawa rombongan, Mas?" sapa Wira yang sepertinya tak merasakan aura gelap di antara kami.

"Keluarga," El memasang senyum simpul menjawab pertanyaan Wira. "Oh, iya ini mama saya, kakak ipar dan putrinya dan yang sedang menelpon di sana Abang saya."

Aku melirik sebentar ketika El mengenalkan kakak iparnya. Pantesan pria itu gagal move on, kakak iparnya begitu cantik.

Wira kemudian berjabat tangan dengan mereka bergantian.

"Ini? Istrinya?"

Bukan El yang bertanya tetapi mamanya. Wanita paruh baya itu menatapku. Aku menggeleng pelan berharap Wira juga melakukan hal yang sama.

"Calon." jawab Wira sembari menepuk-nepuk telapak tanganku lembut.

Sial!

Aku menggigit bibir sambil memejamkan mata sejenak, sebelum tersenyum palsu ke arah mereka.

"Semoga di segerakan. Niat baik itu tidak boleh lama-lama."

Aku dan Wira masih tersenyum, dengan arti senyum berbeda.

"Kita bisa langsung istirahat sekarang nggak, Raf? Cecil waktunya tidur."

Untungnya pemuda berwajah mirip El datang dan memutus obrolan kami.

El menatap Wira seolah bertanya.

"Boleh. Sudah siap semua kok. Biar saya antar ke tempat yang sudah di persiapkan."

"Anda pasti Wira?!Wajahnya familiar sekali. Saya Revan, Kakaknya Rafa." seru pria bernama Revan itu menjabat tangan Wira. Wira menyambutnya dengan senyum merekah.

"Wira, Mas. Mari saya antar."

Wira mau melangkah tetapi suara El menghentikannya.

"Saya mau lihat-lihat sekitar dulu. Boleh minta temani calonnya Mas Wira?"

Aku mendelik.

Wira mengernyit tapi hanya sebentar karena sedetik kemudian pria itu mengangguk tanpa minta pendapatku dulu. Setelah itu dia berlalu meninggalkan kami mengantarkan keluarga El ke penginapan.

   Tinggallah kami berdua kini. Saling diam dengan jarak lumayan jauh.

"Kangen nggak sama aku?"

Kenapa dari begitu banyak bahasa sapaan di dunia ini kenapa El memilih kalimat itu?

Aku tersenyum kaku, "Pertanyaan macam apa itu?"

El menyipitkan mata mendekat. "Wajar dong, aku bertanya pada orang yang pernah bilang mencintaiku."

Sialan! Dia masih ingat.

"Boleh aku pergi?" Harusnya aku tak bertanya. Harusnya aku langsung pergi saja.

"Enggak!" El menarik lenganku sebelum aku melangkah. " Temani aku keliling sebentar. Sebagai investor utama—

"Aku nggak ada hubungannya dengan kerjasama kalian."

"Kalau aku bilang kangen, kamu mau nemenin?"

Sejak kapan bocah ini pintar menggombal seperti ini?

"Gimana?" ulangnya saat aku tak merespon. Aku sibuk menyembunyikan perasaanku.

BENALU YANG TAK TERLIHAT(Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang