Bab 45

112 4 1
                                    

Sebelum besok bertemu dengan sosok bermata tegas itu, aku ingin meyakinkan diriku sendiri. Aku harus mencari bukti agar wanita itu tidak mengelak.

Foto bayi. Ya, foto bayi di kamar Sania adalah bukti kalau itu adalah foto masa kecilku. Pantas saja aku merasa tidak asing. Apalagi background dindingnya, mana mungkin aku lupa.

Sekarang, yang harus kulakukan adalah menemukan foto masa kecilku. Sudah lama sekali aku tidak melihat album foto masa kecilku. Pasti ibu telah menyimpannya.

Bertanya langsung soal nama wanita yang telah melahirkan pada ibu bukanlah ide yang bagus. Melihat bagaimana reaksi ibu saat bertemu dengan Nyonya Farah, mencari tahu asal-usulku secara sembunyi-sembunyi seperti ini mungkin jalan terbaik.

   Bapak dan ibu pasti sudah tidur. Ini sudah jam sebelas malam. Rumah sudah sepi. Aku mengendap-endap ke ruangan yang biasa di jadikan gudang. Persis seperti maling.

"Kok belum tidur?" ibu mengagetkanku dari arah kamar mandi.

Sambil menggaruk kepala karena bingung mau menjawab apa, aku berbalik, kemudian melangkah ke ruang tengah.

"Ada masalah? Kerjaan?" tanya Ibu sembari menuang air.

Aku menggeleng cepat. "Bu, foto waktu Sari bayi masih ada kan?"

Ibu sejenak menghentikan aktivitasnya. Mungkin heran dengan pertanyaanku.

"Sari ada tantangan dari teman-teman buat nunjukin foto pas bayi."

"Tantangan apa? Kok aneh-aneh saja anak jaman sekarang." ucap Ibu kemudian berlalu ke gudang.

Wanita itu membuka lemari tua yang ada di sana.

"Ya nih, lagi ngikutin tren gitu, Bu."

Ibu menaruh album tua itu di atas meja.

"Ya sudah, Ibu tidur dulu. Kamu juga jangan malam-malam tidurnya." pesan Ibu yang langsung kusanggupi dengan anggukan.

Setelah Ibu masuk kamar, tanpa pikir panjang album itu segera kubuka. Kebanyakan isinya adalah foto masa kanak-kanakku. Foto saat aku ikut menari waktu di Tk, saat acara nikahan tetangga, saat ngintilin Ibu rewang, hingga pada akhirnya aku menemukan foto yang kucari.

Fotoku di gendong Bapak itu membuatku terenyuh. Apakah ekspresi Bapak sedari dulu selalu begini? Tanpa senyuman.

Aku menghela nafas, daripada  memikirkan ekspresi Bapak yang sekarang sudah kuketahui sebabnya, lebih baik ku selesaikan dulu misiku.

Nyonya Farah harus melihat ini. Dia harus menjelaskan semuanya. Walaupun aku sudah mendengar ceritanya dari Ibu, tapi aku mau wanita itu juga buka suara.

Biar adil.

Biar jelas.

Dan biar aku bisa secepatnya membahagiakan Bapak dan Ibu.

****

   Aku sedang mencuci piring ketika Ayana memanggilku. Sekelebat wajah El muncul, karena biasanya Ayana selalu memanggilku ketika pemuda itu datang.

Tetapi saat ini tak mungkin gadis itu memanggilku karena hal yang sama. El tak lagi di sini. El sudah punya kesibukan baru. Sengaja mengenyahkan harapan yang tak mungkin terjadi itu, aku mengelap tangan sebentar sebelum menampakkan wajahku di hadapannya.

"Hai, Sar."

Aku menghela nafas saat melihat siapa yang baru saja menyapaku. Kukira Nyonya Farah, rupanya bukan.

"Mau pesan apa?" tanyaku memasang senyum.

Di depanku kini tengah duduk dua istri orang dengan penampilan modis khas orang berada. Khas anak orang kaya yang tak pernah susah. Berbeda denganku.

BENALU YANG TAK TERLIHAT(Tamat)Where stories live. Discover now