Bab 56

82 6 1
                                    

Piring-piring masih berserakan. Gelas-gelas air mineral pun demikian. Tikar-tikar belum semuanya di bereskan. Sisa-sisa kue yang tak begitu banyak juga masih belum di bersihkan, seolah semua di tinggal begitu saja oleh pemiliknya. Padahal satu jam yang lalu ruangan ini sesak oleh para tamu. Yang berkumpul riuh penuh kebahagiaan.

"Bu, Sari minta maaf," kataku sambil mengelus lengan ibu pelan. Ibu sedang merebahkan diri dengan wajah pucat.

"Sudahlah, Nak. Semua sudah terjadi."

Diriku semakin merasa bersalah. Harusnya ibu memarahiku, harusnya ibu memberikan tamparan padaku. Tetapi memang sepertinya ibu di lahirkan kedua ini bukan untuk menjadi sosok yang keras. Ibu selalu bisa mengontrol emosinya sendiri. Padahal aku tahu ibu sangatlah kecewa.

"Sari, Sari punya alasan, Bu." Aku masih mencoba memancing ibu agar mau bicara banyak padaku.

"Sudah. Wis. Kamu bantu mbak Ida beres-beres. Ibu mau istirahat dulu. Kepala ibu pusing." Dengan tubuh terlihat lemah wanita itu beranjak masuk ke dalam.

Meninggalkanku penuh sesal.

***
Awalnya aku tidak berniat melakukan itu. Aku ingat setelah merebut mic dari tangan El, hatiku sempat berdebar beberapa kali. Tak percaya bahwasanya aku akan mengalami hal seperti ini.

Di lamar oleh orang yang aku cintai. Di terima oleh keluarganya. Di puji sedemikian rupa oleh calon mertua.

Selama ini hidupku terlalu keras. Lebih tepatnya aku terlalu keras pada diriku sendiri. Dari kecil aku sudah terbiasa mandiri. Seperti tidak membutuhkan orang lain. Aku selalu berusaha menanamkan dalam hati bahwa hidup itu ada sebab ada akibat. Maka tak heran ketika aku beranjak remaja aku selalu bersikap over thinking kepada siapapun.

Latar belakang keluargaku yang cukup rumit adalah alasan utama aku menjadi pribadi yang tertutup. Aku selalu membatasi diriku untuk tidak bergaul dengan banyak orang. Aku terlalu insecure setiap bertemu orang lain sehingga selalu berusaha membentengi diri agar terlihat kuat. Padahal terkadang hatiku rapuh.

Maka, ketika ada seseorang dan keluarganya bilang ingin meminang ku, perasaan insecure itu muncul kembali. Apa benar mereka tulus? Apa benar mereka akan bisa menerimaku. Sedangkan perbedaan kami sangatlah terlihat.

Mungkin calonku bisa menerima, El bisa mengerti, tapi apa keluarga besarnya juga demikian? Apa mereka tidak akan menyesal?

"Saya berterima kasih sekali atas kedatangan seluruh keluarga besar om Fauzi. Saya mewakili keluarga minta maaf kalau kami tidak bisa menyambut dengan selayaknya, hanya ala kadarnya saja, maklum kami kira tadi yang kesini hanya beberapa orang saja untuk bersilaturahmi. "Aku sempat menjeda ucapanku. Melirik El yang kini juga menatapku.

"Saya sangat merasa tersanjung dengan apa yang bapak Fauzi ucapkan tentang saya, terus terang saya tidak sebaik itu, Bapak. Saya masih jauh dari kata baik. Saya banyak aib,

Sebelum saya jawab pinangan keluarga kalian, bolehkah saya bercerita? ....

Mataku terpejam saat mengingat kembali apa yang sudah aku ucapkan kepada keluarga El pagi tadi. Ucapan yang kini meninggalkan rasa muak dan sesal pada diriku sendiri.

***
Hampir satu Minggu sejak lamaran itu terjadi, El seperti sengaja menjauh. Dia sama sekali tidak menghubungiku bahkan sekedar chatpun tak kuterima. Aku mulai di serang rasa gelisah teramat sangat. Apakah dia sudah tidak mau melanjutkan lagi hubungan kami?

"Ada seorang pasangan suami istri, mereka sudah lama sekali menikah. Tapi walaupun demikian mereka hidup dengan rukun jarang bertengkar. Suatu hari ada seorang gadis muda datang dengan tubuh basah kuyup, si istri menolong gadis itu, memberikan makan dan minum karena kebetulan si istri membuka warung makan lalu setelah bercerita akhirnya si istri tahu bahwa gadis itu sebatang kara, dia nggak punya keluarga.

Si istri yang merasa kasihan akhirnya memutuskan meminta gadis itu untuk tinggal dan membantu di warungnya. Singkat kata, suatu hari gadis itu ternyata-maaf, hamil. Bahkan dia tidak tahu siapa ayah dari bayinya. Akhirnya ada kesepakatan agar bayi itu di rawat oleh si istri." Aku menghela napas, mataku menyapu semua orang yang kini tengah menatapku. Sempat berpikir sejenak ragu-ragu apakah ini benar. Tapi hati kecilku mengatakan aku harus jujur dari awal.

"Bayi itu adalah saya." Aku mengakhiri cerita. Ku pandangi wajah ibu dan bapak yang kini terlihat begitu terpukul. Kulihat El yang menatapku dengan tatapan kosong. Kulihat om Fauzi dan istrinya tak kalah kagetnya. Lalu para tamu yang berbisik-bisik sambil menatapku dengan pandangan yang berbeda dari sebelumnya. Mungkin dalam hati mereka berkata, ternyata benar gosip yang beredar beberapa bulan ini. Tentang diriku yang hanyalah anak angkat.

"Saya menceritakan ini bukan bermaksud apa-apa. Saya hanya ingin jujur dari awal karena kalau seandainya saya dan El berjodoh, masalah ini akan menjadi masalah yang penting," ucapku sedikit terbata-bata.

"Sekarang saya pasrah. Saya sudah jujur jadi saya serahkan semua kepada keluarga besar Om Fauzi. Kalau kalian menerima masa lalu saya, sungguh saya sangat berterimakasih. Tapi kalau tidak. Saya tidak apa-apa. Mungkin akan ada pria lain yang telah Tuhan persiapkan buat saya. Yang menerima saya apa adanya."

El hendak meraih mic yang kupegang. Tapi aku berkelit. Masih ada yang ingin aku ungkapkan di pertemuan ini. Mata pemuda itu memerah. Aku yakin sekarang dia sangat marah sekali padaku. Dia berhak melakukan itu. El mungkin merasa kalau aku adalah gadis paling keras kepala. Yang tidak mau mendengar kata-katanya.

"Satu lagi, wanita yang melahirkan saya masih hidup. Itu saja yang ingin saya sampaikan. Mohon maaf kalau membuat anda-anda semua kaget dan tidak menduganya. Inilah saya, takdir saya."

Tanpa sadar aku buliran air mata itu mengalir begitu saja. Berusaha untuk ikhlas ternyata tidak semudah itu. Tadinya kukira El dan keluarganya akan menerima, tapi ternyata sebelum pulang, salah satu keluarga mereka, mengatakan satu kalimat yang membuat keyakinanku runtuh.

"Nak Sari benar, dia jujur seperti ini karena dia mengganggap pernikahan adalah hal besar. Memang yang menikah mereka berdua, tapi jangan melupakan ada keluarga besar di balik sebuah pernikahan. Kami tarik kembali lamaran kami, biar kami pikirkan lagi,"

****
Kemana El? Dia seperti menghilang di telan bumi. Untuk menghubunginya terlebih dahulu rasanya gengsiku tak mengizinkan. Jadi, untuk menghilangkan rasa rinduku yang kulakukan dari kemarin adalah memutar suaranya di voice pesanku. Membuka chat kami, berkali-kali. Sampai aku bosan sendiri.

Hari itu aku sudah putus asa, aku sudah anggap kisahku dengan pemuda itu selesai. Hampir dua minggu dia tidak menghubungiku jadi aku sudah menganggap bahwa kami sudah tidak ada harapan lagi.

Tapi kedatangan motor tak asing itu seakan membuat pemikiranku harus di ralat. Apalagi ketika pemilik motor itu kini memarkirkan kendaraannya lalu dalam sekejap dia turun dan membuka helmnya sambil tersenyum, harapan yang hampir sirna itu muncul kembali.

Aku bahkan beberapa kali harus meyakinkan diri bahwasanya sedang tidak berhalusinasi. Aku mengucek mataku. Tapi, nyata. Pemuda itu dengan helm di tangan kirinya tengah berjalan ke arahku. Lalu dengan gerakan slow motion tubuhku sudah berada dalam dekapannya.

"Kangen banget ...." Mataku kosong. Hatiku membuncah. Dia ternyata kembali. Memelukku erat membisikkan kata-kata rindu yang membuat tangisku akhirnya pecah.

Bersambung

Hohoho, maaf baru nongol YESS. Cerita ini tinggal 2 part lagi tamat.

Oh, ya aku juga baru up cerita baru. Barang kali ada yang mau baca. Judulnya FIBRI GADIS PENGGODA?!

Masih ada hubungannya nggak sama story ini, Thor?

Jawabannya ADA. Karena di sana juga nanti Sari muncul. Sari masa-masa Sekolah gitu. Jadi kalian yang pengen tahu kisah Sari-Fikar, bakal aku spill di sana dikit-dikit. Hehehe.

Tengkyu❤️

BENALU YANG TAK TERLIHAT(Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang