Bab 39

74 6 2
                                    

Zulfikar Sauqi

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Zulfikar Sauqi




Aula gedung yang baru saja kuinjak ini telah di sulap menjadi ruangan pesta yang cukup mewah. Banyak rangkaian bunga di tiap pojok berdampingan dengan foto prewed kedua mempelai. Fibri terlihat makin cantik dengan senyum merekah, sedang Bima yang ada di sisi gadis itu menebar senyum tipis dengan ekspresi datar.

Bukan Bima banget.

Aku merengsek kedalam ingin secepatnya bertemu yang punya hajat dan berniat langsung pulang. Tidak mau berlama-lama.

Dalam perjalanan masuk gedung, beberapa kali aku berpapasan dengan teman sekolah. Dan seperti biasa, kami hanya saling menyapa singkat tanpa mengobrol banyak.

Mungkin mereka juga terlalu malas bicara denganku karena sikapku. Kami tak pernah sefrekwensi.

Berbeda dengan Fibri.

Aku dan Fibri satu angkatan di sekolah. Sejak SMP. Tetapi kami tidak pernah satu kelas. Berbeda denganku yang lebih suka menyendiri, Fibri termasuk gadis supel nan ramah dan mudah bergaul. Tidak sulit baginya mencari teman.

Dulu di sekolah hampir semua siswa dan guru mengenalnya, di samping sikapnya yang ramah dan tidak sombong, faktor orang tua Fibri yang menjadi donatur tetap sekolah menjadikan gadis itu sangat populer.

"Sarifah!"

Aku menoleh ke arah suara yang memanggilku.

"Apa kabar kamu? Ih, makin cantik saja."

Adalah Luna pemilik suara cempreng berlari menghampiriku. Dia adalah teman sebangkuku ketika kelas delapan di SMP.

"Baik." jawabku singkat tanpa berniat bertanya balik.

Luna mengerucutkan bibirnya, gadis yang jaman sekolah sering kena hukum karena ketiduran itu kemudian merangkul pundakku.

"Tetep ya, kamu. Irit banget ngomong. Kayak ngomong bayar saja."

Aku mengulum senyum mengingat kalimat itu sering kudengar dari bibirnya dulu.

"Sudah ketemu mantennya?" tanyaku.

"Sudah dong. Nggak nyangka ya, doa Fibri manjur. Dia nikah juga sama Bima."

Sebentar lagi Luna pasti akan bergosip. Sudah tabiat gadis itu dari dulu.

"Aku ketemu mantennya dulu, ya." pamitku sengaja menyela ucapannya.

Gadis itu mengangguk. Dia paham, aku buka teman yang asyik buat di ajak perlambean.

Akhirnya aku bisa naik ke pelaminan. Dengan memasang wajah seceria mungkin, aku menyiapkan kalimat yang nantinya akan aku ucapkan pada kedua mempelai. Aku sadar perpisahanku dengan Bima kemarin bisa di bilang perpisahan yang tak baik-baik saja. Sedikit banyak pertemuan kami hari pasti ada rasa canggungnya.

BENALU YANG TAK TERLIHAT(Tamat)Where stories live. Discover now