Last Game

67.1K 10.2K 2K
                                    

Sudah siap?

Ini feel nya entah dapet atau engga.
Tapi semoga emosinya sampai yah, wkwk.

Ada banyak kejutan, jadi harap bersiap :-P

Jangan lupa komentarnya, lebih dari seribu lagi oke (^^)

Selamat membaca 💜

****

"Jika kematian aku yang Mas Bian inginkan, maka biarkan saja. Tapi aku tidak akan rela melihat salah satu dari kalian meregang nyawa."

Bian menatap Aizha dengan tajam, napasnya memburu memendam amarah besar. Sementara Aizha, tak ada sorot ketakutan sedikit pun dari matanya walau revolver menempel di keningnya, tak ada kemarahan apalagi kebencian, justru tatapan kasih sayang lah yang terpancar dari mata indah Aizha.

"Ayo, Mas, tembak saja," titah Aizha, lirih.

"Lepaskan semua dendam itu, Mas, lepaskan."

Mata Aizha berkaca-kaca, entah mengapa hatinya begitu sesak, bukan karena kecewa, tapi karena sebuah kerinduan akan kebersamaannya dengan Bian yang mungkin tidak akan pernah terulang lagi.

Aizha begitu merindukan Bian yang selalu menatapnya hangat, ia merindukan Bian yang selalu mengomelinya jika ia telat pulang sekolah atau lalai dengan kesehatannya, dan masih banyak lagi kebersamaan yang telah mereka habiskan. Tidak, entah mengapa Aizha yakin jika sikap posesif Bian saat itu bukanlah sebuah sandiwara, ia bisa merasakan ketulusan Bian.

"Aku tidak akan melarikan diri, Mas."

Shaka dan Aizar benar-benar panik, mereka menatap Arvan meminta bantuan, tapi pria itu malah mengangkat tangannya pertanda mereka lebih baik diam, bertindak gegabah justru akan memperburuk masalah.

"Mas Bian, jangan Mas, jangan tembak Aizha," mohon Aizar dengan hati-hati.

"Zha, jangan gila!" teriak Shaka, kalut.

Bian dan Aizha tak memedulikan berbagai ucapan dari Shaka dan Aizar, posisi mereka masih tetap sama.

Tangan Bian bergetar, perlahan jarinya menarik pelatuk pada revolver, tatapan Aizha padanya sungguh membuat hatinya tak menentu.

"Engga, stop!!" panik Shaka.

Shaka berlari menghampiri Aizha, namun Arvan dengan cepat mencekal tangan Shaka agar dia tidak menerjang Bian dengan bodohnya.

"Tembak saja! Kenapa ragu-ragu?" tanya Arvan dengan tatapan dinginnya.

Shaka menatap Arvan tak percaya, sorot matanya memperlihatkan amarah tertahan, bagaimana bisa pria tua ini berucap dengan mudahnya?!

Ingin rasanya Shaka memaki Arvan, namun bibirnya tak mampu berucap satu patah kata pun, Shaka mengepalkan tangannya, ia berusaha melepaskan cekalan pria itu namun sekuat apa pun ia berusaha tetap saja tidak bisa.

Sementara Aizar, pria itu mengernyitkan keningnya heran, kenapa Om-nya setenang ini? Ia memerhatikan Arvan dengan seksama, ada yang janggal.

"Tapi, apa kamu pikir Cia akan hidup lagi dengan kematian Aizha? Apa kamu pikir hidup kamu akan lebih bahagia dengan kematian Aizha?" tanya Arvan.

Fokus Bian teralihkan, ia menatap Arvan dengan pandangan dinginnya.

"Anda kira saya akan terpengaruh?" ucap Bian.

Bian kembali memfokuskan dirinya pada Aizha, ia menggelengkan kepalanya mengusir perasaan lain yang selalu mengganggu setiap rencana yang sudah di susunnya.

"Ja-jangan, Mas," ujar Shaka dengan cepat, "jangan menjadi pembunuh untuk dua kehidupan sekaligus," lanjutnya.

Seketika Arvan dan Bian menapa Shaka, raut wajah shaka sudah sangat pucat, sungguh ia sangat takut.

Kiblat Cinta ✓Where stories live. Discover now