14

10 4 0
                                    

Sekeluarnya dari ruang makan restoran, Xiang diam-diam memasang masker di wajah dengan harapan tak dikenali

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Sekeluarnya dari ruang makan restoran, Xiang diam-diam memasang masker di wajah dengan harapan tak dikenali. Lambat-lambat ia menyusuri koridor menuju toilet, menunggu seseorang lewat sambil memastikan tidak ada staf yang menguntitnya. Niat awalnya izin ke toilet memang bukan menuntaskan panggilan alam, melainkan menghindari pengawasan. Orang-orang Kevin Huo adalah perpanjangan mata dan tangan Yang; mereka tidak boleh tahu Xiang menelepon Tian.

Seorang wanita paruh baya keluar dari toilet. Setelah sekali lagi memastikan keamanannya, Xiang mulai berakting di depan perempuan itu.

"Permisi, Nyonya," –wanita berpakaian bagus yang Xiang hampiri mengamatinya dari atas sampai bawah, tetapi tampaknya tak mengenali sang model; sempurna— "apakah Anda bisa membantu saya?"

Kata demi kata yang sebagiannya dusta Xiang susun demi meyakinkan si wanita asing. Ponsel rusak karena ketumpahan air wastafel, keperluan menelepon yang genting, semua dituturkannya dengan mulus tapi tergesa, seolah betul-betul terdesak.

"Kamu kikuk sekali, ya?" Beruntung dua; si wanita menganggap kecerobohan Xiang yang tak nyata itu lucu. Ia membuka kunci ponselnya dan mengangsurkannya begitu saja—sambil tersipu-sipu?—kepada sang peragawan. "Silakan dipakai."

"Terima kasih banyak, Nyonya. Boleh saya pakai di sana sebentar?" Xiang menunjukkan ceruk kecil tempat alat-alat kebersihan restoran disimpan. "Tidak akan sampai semenit."

"Tentu. Akan kutunggu."

Wanita ini sangat baik meskipun Xiang kurang suka caranya tersipu-sipu. Ia segera undur diri, sambil berjalan buru-buru mengetikkan nomor Tian. Terdengar nada sambung. Begitu Xiang bersembunyi di ceruk, panggilannya diangkat.

"Halo."

"A-Tian," Xiang harap getar suaranya yang lirih tidak tertangkap oleh adiknya, "ini aku. Bagaimana—"

"Kau—?" sahut Tian terkejut, lalu mendesis takut. "Ini benar-benar kau? Mengapa menelepon? Nomor siapa ini?"

Cecaran pertanyaan ini membuktikan bahwa serangan asma Tian pasti sudah tertangani. Xiang yang sudah mengantisipasinya tersenyum lembut. "Aku tidak punya banyak waktu. A-Tian, apa kau kambuh lagi? Sudah baikan?"

Hening sejenak di seberang.

"Ya, tapi sekarang tak apa-apa. Siapa yang memberitahumu?"

"Tidak penting," jawab Xiang, mengerti bahwa nama siapa pun yang disebutnya bisa berada dalam bahaya. "Syukurlah kalau kau baik. Istirahatlah; akan kutelepon lagi besok pagi."

Suara kesiap Tian tersalurkan lewat panggilan. "Jangan! Direktur Feng bisa—"

"Jangan biarkan dia tahu, makanya," kekeh Xiang pelan. "Sampai nanti."

Tak menunggu balasan adiknya, Xiang memutus sambungan, menghapus log panggilan dengan Tian agar nomor pribadi Tian tak terekspos, mengembalikan ponsel itu, lalu masuk toilet pria. Tidak ada seorang pun di dalam sana, jadi Xiang leluasa membuka maskernya—dan menikmati senyum leganya yang tulus setelah sekian lama. Banjir adrenalin tidak membiarkan senyum itu tersungging.

Kevin Huo's ProposalWhere stories live. Discover now