10

10K 854 49
                                    

"Bulan ini, target feebase-mu kurang 25 juta lagi."

Abel mengamati laptopnya yang menunjukkan persentase target bulanannya. Ia sedang rapat berempat dengan tim dan kepala marketing yang membahas target bulanan hari ini. Abel sedikit berdecak, menatap pencapaiannya yang kurang memuaskan bulan ini. Ah, sudah dua bulan ia tidak mencapai targetnya. Satu kali lagi, Abel rasa ia akan dipanggil oleh kepala cabang untuk diomeli.

"Gimana, Bel? Kok makin turun?" tanya Bu Harni selaku kepala marketing membuat Abel tersenyum masam.

"Sepi, Bu. Nasabah yang saya pegang rata-rata lagi kesulitan ekonomi, jadi nggak terlalu minat sama produk investasi," jawab Abel menjelaskan kesulitan lapangannya.

"Ah, nasabah aku nggak kok. Mungkin, kamu males aja kunjungan ke nasabah?" sambar Pandu, rekan sejawatnya. Sebenarnya sih, daripada rekan, lelaki itu lebih cocok dianggap musuh.

Pandu Restu, lelaki yang tiga tahun lebih tua dari Abel itu selalu begitu kepada semua orang. Tidak cuma pada dirinya saja. Si pick me, tukang kompor yang bermuka dua. Abel menatapnya lekat sambil menopang dagu di meja.

"Oh ya? Kok nasabahmu kulihat-lihat ada yang berasal dari nasabah yang harusnya ku-handle ya?" tembak Abel dengan sopan tetapi bernada memojokkan, membuat Pandu langsung diam. Tiga pasang mata lainnya, Fani, Bayu, termasuk Bu Harni juga menatap ke arah Pandu yang kelihatan salah tingkah.

"Loh, kenapa, Ndu? Kamu 'kan, sudah Ibu kasih list nasabah sendiri? Kamu bulan ini pencapaiannya udah over 30 juta loh?" Bu Harni memborbardir Pandu dengan pertanyaan, membuat sudut bibir Abel sedikit terangkat.

"Pandu mau naik haji kali, Bu. Makanya list temen diembat," sambar Fani, memihak pada Abel. Sebenarnya sih, Fani hanya mencuri kesempatan. Dirinya juga jengkel pada lelaki pick me muka dua yang suka memojokkan karyawan lain.

"Modal nikah kali. Si Pandu katanya mau kawin akhir tahun ini," sambung Bayu dengan nada netral, mencoba menurunkan ketegangan.

Namun, suasana malah semakin tegang. Pandu masih tidak bisa menjawab, sementara Bu Harni menghela napas panjang.

"Lain kali, jangan rebut list sejawat ya, Ndu. Kita nih kerja tim, semua harus sama-sama capai target. Kalau semua mau kamu, ya timpang dong?" tegur Bu Harni dengan nada lugas, tetapi memperingatkan.

"Iya, Bu. Maaf," balas Pandu pelan dengan wajah masam.

"Minta maaf ke rekanmu, jangan ke saya."

Pandu melirik ke arah Abel yang masih bertopang dagu dengan wajah datar. Rahangnya mengeras, egonya terusik, tetapi ia tak punya pilihan.

"Sorry, Bel," katanya ringkas.

Abel hanya tersenyum miring. "Gue maafin, biarpun gue tahu lo tetep bakal ngulangin kesalahan yang sama."

"Kayak jargon keledai aja," celetuk Fani membuat satu ruangan tertawa kecuali Pandu.

"Ya sudah. Bel, saya mau kamu follow up Bu Adina Baneswara ya. Dia kemarin minta saya sampaiin ke kamu kalau dia ngundang kamu ke pesta ulang tahun suaminya. Katanya kamu kemarin ambil rumah sama dia?" tanya Bu Harni membuat mata Fani membulat.

"Wah, kalau lo bisa ambil rumah dari Bu Adina, lo ngapain masih jadi marketing Bank Index? Harusnya lo jadi nasabah kita lah!" protes Fani membuat Abel mendengkus.

"Ya ini gue nasabah sekaligus pekerja," balas Abel sekenanya membuat Fani mendelik sebal padanya.

"Bayar tunai atau ambil cicilan, Bel?" tanya Bu Harni.

"Tunai," jawab Abel singkat.

"Banyak amat duitmu? Kolusi sama Bu Adina?" ledek Pandu yang membuatnya langsung dapat teguran.

No Strings AttachedWhere stories live. Discover now