49

8.1K 690 31
                                    

Natal akhirnya tiba. Agam bertemu juga dengan kedua orang tua Abel. Setelah selama ini hanya bicara via telepon, Agam bertatap muka pula dengan kedua orang yang begitu berjasa untuknya, karena sudah melahirkan perempuan yang menjadi tujuan hidupnya. Keduanya menyambut Agam dengan hangat, menerimanya seakan ia sudah menjadi bagian keluarga mereka.

Bahkan, Agam sudah dekat dengan ayahnya Abel yang pada awalnya galak setengah mati kepadanya. Bagaimana tidak luluh, setiap ada waktu, Agam akan mengirimi pesan pada calon mertuanya untuk menanyakan kabar. Kadang, ia akan menelepon dan bicara soal kesehariannya, tertawa pada lelucon ayahnya yang menurut Abel tak lucu, tetapi bagi Agam lucu. Lalu, ayah Abel juga suka sekali mengirimkan foto ikan hasil tangkapannya kepada Agam.

Daripada Abel, sepertinya yang menjadi anak kandung ayahnya sekarang adalah Agam.

"Gam, sini! Ayah masak kepiting lada hitamnya sendiri. Kamu makan nih, Abel nggak bisa makan kepiting, dia nggak bisa buka cangkangnya!" Ayah Abel memanggil Agam, dengan antusias memamerkan kepiting yang ia masak pada calon menantunya.

"Kepitingnya gede banget, Yah? Nangkap sendiri ya?" tanya Agam, memasang wajah antusias juga.

"Ayah barter sama tetangga, Pak Yusri namanya. Nanti Ayah kenalin sama tetangga-tetangga di sini," balas ayah Abel sambil tersenyum. "Nah, kamu makan dulu. Ibu juga udah masak udang asem manis. Masakan Ibu juara loh!"

Agam mengangguk senang, menurut saat disuruh segera makan oleh calon mertuanya. Abel hanya menatap keduanya sambil geleng-geleng. Ayahnya juga begitu pada suami Ninda. Tidak heran, karena selama ini ia hanya punya anak perempuan. Begitu kedatangan anak laki-laki, ia awalnya menolak karena khawatir, tetapi begitu kenal, sayangnya seolah sudah melebihi sayang pada anak sendiri.

"Ampun deh. Ayah jangan ngajak Agam mancing! Nanti dia kecapean berjemur," kata Abel mendekat pada Agam sambil menyentuh wajahnya. "Masih demam nggak?"

"Lah, kamu sakit, Gam?" tanya ayah Abel terkejut.

"Sakit apa? Kalau demam, kasih obat di kotak obat itu," sambar ibunya cepat saat mendengar pertanyaan ayahnya.

"Agam nggak sakit, kok, Bu. Cuma agak nggak enak aja, tapi ini udah baik-baik aja," kata Agam sambil makan, tersenyum manis membuat ibu Abel berdecak.

"Kalau sakit kenapa maksa ke sini loh! Nanti makin parah sakitmu, Gam. Ibu buatkan teh krisan, diminum ya! Kalau kata tetangga sebelah yang keturunan cina, teh krisan bagus buat panas."

"Iya, Bu."

Abel tersenyum melihat Agam yang diperhatikan oleh orang tuanya. Begitu tahu Agam yatim piatu dari lahir, orang tuanya langsung pengertian dan memperhatikan Agam. Lelakinya juga kelihatan senang karena menerima kasih sayang dari orang tua Abel walau bukan orang tua kandung. Namun, hal itu bukan masalah bagi Agam karena mereka akan jadi keluarga.

Setelah makan dan minum teh krisan, Agam disuruh ibunya minum obat sekitar dua jam kemudian karena ternyata tubuhnya masih agak demam. Agam tertidur di kamar Abel setelah minum obat, mengantuk akibat efek sampingnya. Rumahnya sempat didatangi tetangga yang penasaran pada Agam, tetapi begitu tahu lelaki itu sedang tak enak badan, semuanya mundur dan memilih untuk tidak mengganggu.

Ayahnya dengan senang hati bercerita tentang Agam. Kelihatannya, ia bangga sekali pada Agam. Padahal awalnya, ia galak. Namun, Abel senang mengetahui jika Agam diterima dengan baik oleh orang tuanya.

"Mana calonmu, Kak?" tanya Ninda yang akhirnya pulang ke rumah orang tua mereka. Perempuan itu menggendong anaknya yang berusia tiga tahun sambil tersenyum. "Beneran bawa Agam Pangestu pulang?"

Abel hanya mendengkus, tetapi ia mengulum senyum sebagai jawaban. Ninda terkekeh. Rasanya, baru saja ia melihat wajah muram Abel saat pulang ke rumah karena putus dari Agam. Ia ingat setiap kali Abel pulang kampung tahun-tahun berikutnya setelah hari itu, Abel masih tampak muram walau tak separah kali pertama berpisah dari Agam.

No Strings AttachedWhere stories live. Discover now