16

8.1K 695 29
                                    

Abel memijat pangkal keningnya, menutup layar laptopnya sambil batuk-batuk. Rasen langsung datang ke Bank Index untuk menemuinya sekitar satu jam setelah ia selesai berkirim pesan pada Miu di jam makan siang. Disusul Miu yang juga datang untuk membuka rekening deposito baru. Tentu saja, target Abel langsung tuntas dengan kedatangan pasangan kaya itu. Ia tak pusing lagi memikirkan target sekarang, terutama karena Rasen dan Miu sekarang berada dalam list maintenance-nya.

Sekarang, Abel malah pusing karena sakit. Suhu tubuhnya agak tinggi, ia batuk-batuk dan pilek juga. Abel memutuskan untuk segera pulang setelah selesai berberes mejanya, hendak keluar dari gedung tetapi mendapati jika di luar hujan deras. Ah, Abel tidak bawa payung.

Sekarang, sudah hampir pukul delapan malam. Abel harus segera pulang karena sudah gelap. Tubuhnya juga sudah lelah dan tak sanggup bergerak lagi.

Ia bersandar di pintu kaca, hampir lemas menunggu hujan yang tak kunjung reda. Ingin memesan taksi online, tetapi tak kunjung satu sopir pun yang menerima pesanannya. Akhirnya, Abel berjongkok, meringkuk di depan pintu kaca dan menggigil. Sial, ia harus segera pulang, tetapi terlalu lemas untuk bergerak. Abel tak punya pilihan, memutuskan untuk menghubungi Agam karena hanya pemuda itu yang terpikirkan dalam benaknya.

Agam, maaf. Aku boleh minta tolong jemput? Aku nggak kuat jalan sekarang.

Abel mengirim pesan itu dengan hati tak tenang. Ah, bagaimana kalau ia menyusahkan Agam ya? Lima menit berlalu, Agam belum membaca pesannya. Pasti lelaki itu sibuk. Ia hendak menarik kembali pesan yang ia kirim, sampai tanda ceklis dua abu-abu di ponselnya berubah jadi biru dan Agam sudah meneleponnya.

"Hal... ugh! Halo?" Abel terbatuk saat ia membalas telepon Agam.

"Kak Abel? Kakak di mana sekarang?" Suara Agam kedengaran khawatir.

"Aku di kantor, Gam... " Abel terbatuk lagi. "Tadi aku mau nyari taksi online, tapi nggak ada yang ngambil pesenan taksiku. Kamu lagi sibuk? Kalau sibuk, nggak ap-"

"Agam ke sana sekarang. Kak Abel tunggu ya. Jangan ke mana-mana!"

Abel hendak menjawab, tetapi batuk-batuk lagi. Sambungan telepon terputus. Sepertinya, Agam sudah bergerak untuk menjemputnya. Abel menunggu, tak tahu berapa lama. Sampai Agam tiba di depannya, dengan rambut dan pakaian setengah basah, membawa payung rumah sakit besar dengan napas terengah. Abel yang berjongkok di pintu kaca langsung mendongak untuk menatap Agam.

Agam langsung berjongkok, menyentuh wajah Abel yang pucat dan langsung mengerutkan kening. Gila, suhu tubuh Abel panas sekali! Agam panik.

"Kak Abel! Kak Abel masih kuat berdiri?" tanyanya, menatap Abel cemas.

Abel mengangguk. "Kayaknya bisa, Gam."

"Coba berdiri dulu," pinta Agam.

Abel berusaha berdiri, tetapi tubuhnya roboh lagi. Dengan sigap, Agam menangkap tubuh Abel, langsung menggendongnya di punggung dan memayungi Abel yang lemas.

"Kak Abel peluk yang erat ya? Tahan sebentar, Agam bawa Kak Abel pulang secepatnya," kata Agam, diangguki oleh Abel.

Lalu, Abel tidak begitu ingat detailnya selain Agam yang berjalan secepat yang ia bisa, berhati-hati supaya tak jatuh saat menggendong Abel kembali ke rumahnya. Untungnya, karena Abel sudah pindah ke Perumahan Baneswara, jarak tempuh perjalanan mereka hanya memakan kurang dari sepuluh menit jalan kaki.

Abel setengah sadar saat Agam merebahkannya ke ranjang, melepaskan sepatu dan mencoba mengganti pakaiannya. Namun, satu hal yang Abel tahu, Agam juga kehujanan dan basah.

"Gam, ganti baju kamu dulu, ya? Nanti, kamu sakit juga." Begitu pinta Abel yang sudah lemas saat Agam melepaskan kemejanya.

"Bukan saatnya khawatirin Agam, Kak Abel!" omel Agam, benar-benar kesal dan khawatir. Tangannya bergerak secepatnya menggantikan pakaian kerja Abel menjadi piyama.

No Strings AttachedWhere stories live. Discover now