11

9.1K 814 28
                                    

Matahari sudah terbenam saat Agam menggandeng Abel menyusuri jalan setapak di tepi sungai. Jemari mereka bertaut erat. Agam sesekali melirik Abel yang kelihatan tenang. Perempuan itu tidak mengomentari kedatangan mendadak Agam ke Insomnia.

Agam cemburu, sangat cemburu mengetahui jika Abel bertemu dengan Aaron. Ia tidak mau Abel kembali kepada Aaron, walau ia tahu Aaron adalah lelaki yang lebih baik darinya. Genggaman Agam semakin mengerat, membuat Abel menatap wajahnya.

Apakah hubungan kasual yang Abel pikirkan akan berjalan baik? Rasanya, Abel dan Agam sudah punya tujuan yang beda. Agam ingin serius, Abel hanya mengikuti arus. Malah, cenderung menganggap enteng pendekatan mereka dan perasaan Agam.

"Cemburu lagi?" tanya Abel sambil melangkah di samping Agam.

"Iya," jawab Agam tanpa menatap Abel. Ia malu karena cemburu. Mau dirinya cemburu kepada Aaron, Agam rasa ia tidak akan pernah bisa menjadi seperti Aaron. Hatinya resah.

"Kak Abel," panggil Agam masih tidak menatap perempuan itu, tetapi menautkan jari mereka erat. "Tunggu aku ya?"

Tunggu aku jadi lebih baik, lebih hebat dari mantanmu. Aku akan berjuang sampai titik terakhir supaya bisa jadi laki-laki yang pantas buatmu.

Agam akhirnya menoleh kepada Abel, menghentikan langkahnya dan menatap mata besar Abel lekat. Menunggu. Abel sudah pernah menunggu. Mungkin ia ahlinya. Namun, Abel tidak suka menunggu.

Apa yang mau ia tunggu? Menunggu itu selalu tidak ada kejelasan. Akan tetapi, tatapan Agam tanpa sadar membuat Abel mengulum senyum. Abel tidak tahu, tetapi mungkin ia akan menunggu Agam dengan senang hati? Entahlah.

Abel hanya ingin hubungan yang tidak rumit. Mungkin, ia juga ingin tahu bagaimana rasanya diperjuangkan. Selama ini, selalu Abel yang berjuang, lalu ujung-ujungnya dicampakkan.

Ia melepaskan genggaman tangan Agam, membuat lelaki itu menatapnya hampir nelangsa. Namun, tatapan itu berubah saat Abel menangkup wajahnya dengan dua tangan. Kemudian, Abel mencubit pipi tirus Agam dengan hati gemas.

"Gue udah bilang, santai aja, 'kan, Agam Pangestu?"

Bibir Agam mengerucut, membuat Abel tertawa pelan sambil mencubit-cubit pipinya dan menekannya kuat sampai bibir Agam semakin mengerucut lucu.

"Tapi, gimana kalau Kak Aaron tiba-tiba ngajak Kak Abel balikan?"

Walau tidak mungkin, tapi Agam tetap saja was-was. Abel itu cantik, bagaimana kalau Aaron tiba-tiba jatuh suka setelah melihatnya lagi setelah berpisah selama ini? Abel mendengkus geli.

"Gue mungkin pernah cinta mati sama Aaron, tapi setelah ketemu dia lagi, gue cuma ngerasa sedikit sayang sama waktu gue yang terbuang buat nunggu dia bales perasaan gue." Abel melepaskan tangannya dari wajah Agam. "Mungkin, gue belum sepenuhnya move on seperti yang gue kira, tapi sekarang gue nggak ada keinginan mau balik sama Aaron. Ngebayangin balikan sama dia aja rasanya aneh banget."

Mata Agam sedikit membulat, berbinar penuh harap saat ia menatap Abel. Benarkah demikian?

"Dia cuma minta maaf, ngundang gue ke acara pernikahan dia dan..." Ucapan Abel sedikit menggantung, lalu ia melanjutkan. "Dia berharap gue ketemu sama orang yang lebih baik dari dia."

"Aku akan jadi orang itu," sambar Agam tanpa ragu. "Kak Abel tunggu dan lihat aja."

Mata Agam memancarkan keyakinan penuh, membuat Abel mengulum senyum. Ia tidak butuh lelaki yang lebih baik dari Aaron. Ia mau lelaki yang mau berjuang untuknya. Dan lelaki itu ada di hadapannya.

Abel menoleh ke kiri dan ke kanan tanpa membalas ucapan Agam. Jalan setapak tepi sungai agak sepi sore menjelang malam ini. Namun, pasti akan ada orang yang lewat. Agam menatap Abel bingung, ikut menoleh ke kiri dan ke kanan.

Namun, saat Agam melakukannya, Abel menariknya menjauh dari jalan setapak, bersembunyi di balik pohon yang lebih gelap dan tak terkena cahaya lampu. Agam melihat Abel tersenyum jahil, sebelum perempuan itu berjinjit dan meraih wajahnya, mempertemukan bibir mereka dengan manis yang membuat Agam membeku.

Bibir Abel bergerak melumat bibirnya, terasa menggelitik dan mendebarkan. Agam balas meraih tubuh Abel, menunduk lebih rendah supaya Abel bisa lebih leluasa menjelajahi bibir dan mulutnya. Agam suka saat lidah Abel menelusup ke sela bibirnya, menggeliut lincah menggoda lidahnya untuk menari bersama. Ia suka sensasi telapak tangan Abel di sepanjang rahangnya. Ia juga suka aroma parfum yang Abel kenakan, segar, feminin, tapi tidak berlebihan.

Dan, dari semua hal itu, Agam suka debaran di jantungnya, yang berdetak kencang karena Abel. Hanya untuk Abel seorang.

Saat Abel pertama kali menciumnya seperti ini, Agam merasa malu. Ia tidak pernah merasakan kelembutan bibir perempuan. Namun, Abel memberi tahu bagaimana rasanya, membuat Agam terbiasa dan malah jadi jatuh hati. Agam mengerang pelan di tengah ciuman mereka. Tubuhnya menghangat, wajahnya merona.

Abel melepaskan ciuman mereka, mengusap bibir Agam yang sedikit memerah dengan lembut. Matanya menatap Agam yang malu-malu, terkikik dan memberi kecupan kecil pada bibir Agam.

Beberapa pejalan kaki melewati tempat mereka bersembunyi. Mereka bukan tak sepenuhnya tak terlihat, hanya saja pejalan kaki yang lewat itu memutuskan untuk tak peduli. Agam sedikit salah tingkah, tetapi juga menikmati debaran kencang di dada kirinya. Ia malu, tapi masih ingin merasakan manis dan lembut bibir Abel.

Matanya mengamati wajah Abel lekat, sementara yang diamati hanya memberi senyum. Abel mengusap rambut Agam yang sedikit berantakan. Lain dengan Agam yang membesar perasaannya, Abel menemukan sedikit keraguan di hatinya. Walau bibirnya bertaut dengan Agam dan lidah mereka saling beradu, Abel mendapati dirinya bertanya-tanya apakah ini yang ia inginkan?

Kalau untuk jangka pendek, Abel memang menginginkan Agam. Mungkin untuk menemaninya? Ia ingin punya seseorang yang menggemaskan. Ia ingin berkencan dengannya, tetapi bukan untuk sesuatu yang serius.

Ah, apakah ini hal yang baik atau buruk?

"Jangan dipikirin, nanti lo pusing," kata Abel akhirnya, menutupi bimbang yang sempat lewat di hatinya. Walau sebenarnya, perkataan itu juga ia tujukan untuk dirinya sendiri. Ya, ia juga tidak mau memikirkan kelanjutan hubungan mereka yang entah kenapa rasanya tak punya masa depan ini.

Ia akan memikirkan kebimbangannya nanti, jika tidak ada Agam. Sebenarnya, Abel sudah sering memikirkan hal ini lagi dan lagi. Namun, ia masih belum menemukan yang ia inginkan. Jadi, Abel memutuskan untuk mengikuti arus saja.

Wajah Agam masih memerah, dengan tatapan yang terang-terangan memuja tertuju pada wajah Abel. Agam adalah lelaki baik dengan tuntutan hidup yang banyak. Namun, ia tidak menyerah dan malah semakin giat berusaha.

Abel rasa ia akan membiarkan Agam berjuang untuknya. Mungkin, ia akan menemukan perasaan yang sesungguhnya untuk Agam setelah merasakan perjuangan pemuda itu. Atau mungkin juga tidak.

"Kamu mau balik ke rumah sakit atau mau ke rumahku?" tanya Abel lembut, menatap Agam lekat.

"Nenek nyuruh aku ngabisin waktu lebih lama sama Kak Abel," bisik Agam pelan. "Aku mungkin bakalan sama Kak Abel lebih lama hari ini."

"Nanti, Nenek kamu nggak ada yang jagain?"

"Nenek punya teman baru di rumah sakit. Dia bilang mau ngobrol sampai ngantuk. Makanya aku mutusin buat nyusul Kak Abel ke kafe tadi," sahut Agam, memasang wajah menggemaskannya pada Abel.

"Hmm, oke," gumam Abel seraya perlahan menarik Agam pergi meninggalkan pohon tempat mereka bersembunyi. "Masih lapar nggak? Gue masak ya?"

"Kak Abel ngasih aku makan mulu. Aku masih kenyang, Kak," balas Agam, sedikit memprotes.

"Lo kurus banget sih, gue takut lo lemes waktu lagi kerja. Mana kerjaan lo banyak, 'kan?"

Agam mengulum senyum. "Nggak, aku kenyang Kak."

"Yakin?"

Agam mengangguk, menatap Abel dengan wajah senang. "Makasih ya, Kak Abel."

"Kenapa?"

"Makasih udah khawatirin aku."

Abel terkekeh. Apa mengkhawatirkan Agam layak mendapatkan kata terima kasih? Abel mengeratkan genggaman mereka kali ini, tidak menyahuti ucapan Agam.

Ya, Abel rasa ia tak perlu banyak berpikir untuk saat ini. Ikuti saja arusnya, tetapi jangan sampai hanyut.

No Strings AttachedWhere stories live. Discover now