50

16.6K 816 84
                                    

"Berenangnya jangan jauh-jauh, Gam! Takut ombak besar tiba-tiba datang!"

Ayah Abel mengingatkan Agam, seperti mengingatkan anak kecil saja. Abel menyeringai geli melihat ayahnya yang protektif sekali pada Agam. Karena Agam kemarin sempat demam, ia jadi khawatir jika lelaki itu tiba-tiba lemas saat berenang. Padahal, Agam sudah sehat lagi.

"Nggak, Yah. 'Kan sama Daksa," kata Agam sambil tersenyum.

"Daksa jago berenang, Yah. Aman!" ujar Daksa, suami Ninda dengan senyum meyakinkan.

"Ya, tetep aja jangan jauh-jauh!"

"Iya, deket-deket aja kok, Yah."

Kedua lelaki itu berjalan menuju pantai dengan semangat. Ninda menatap suaminya yang melangkah menjauh sambil geleng-geleng.

"Untung anak aku nggak suka ngikutin bapaknya. Kalau nggak, ribet aku ikut jagain juga," gumam Ninda membuat Abel tertawa geli.

Ibu mereka duduk di karpet yang digelar dengan malas-malasan, menikmati hembusan angin pantai sambil menatap pemandangan. Abel dengan santai mengunyah camilan yang dibawakan oleh ibunya dari rumah, menatap Agam yang berenang dengan gembira bersama dengan Daksa. Keduanya sama-sama punya badan besar -walau Agam lebih besar dari Daksa-, tetapi tingkah keduanya kelihatan seperti anak kecil.

Tak lama, keduanya disusul oleh ayah mereka yang memutuskan untuk ikut berenang bersama. Lalu, setelah puas berenang, ketiga lelaki itu kembali pada mereka. Abel membantu mengeringkan tubuh Agam supaya tidak masuk angin. Agam tersenyum-senyum senang bukan main saat Abel mengeringkan rambutnya dengan handuk.

Ia merasa dicintai saat Abel memperhatikannya begini. Piknik hari itu terasa menyenangkan, dan Agam berharap jika mereka bisa melakukannya lagi lain waktu. Mereka pulang ke rumah sebelum matahari terbenam, berberes dan menyiapkan makan malam bersama. Setelahnya, membersihkan peralatan makan usia makan malam.

Agam memutuskan untuk menemani ayah Abel di ruang tamu. Ia menonton film yang biasa diputar oleh stasiun setiap hari Natal.

"Filmnya ini mulu setiap Natal," komentar ayah Abel.

Agam hanya tertawa. "Mungkin belum urus izin buat mutar film yang lebih baru, Yah."

"Ayah udah nonton ini dari Abel masih bocah ingusan nakal," katanya membuat Agam menatapnya tertarik.

"Emangnya, Kak Abel waktu kecil gimana, Yah?"

Lelaki pertengahan lima puluhan itu tersenyum sambil menatap kosong ke arah televisi. Namun, Agam bisa melihatnya mencoba mengumpulkan kembali memori-memori masa kecil anak-anaknya.

"Abel tuh males anaknya. Dia waktu umur empat tahun males ngomong. Ayah kira, dia ada masalah tumbuh kembang, tapi waktu diajak ke dokter malah nyerocos lancar!" Ia geleng-geleng dengan wajah antara kesal, tapi juga geli. "Kalau diinget-inget lagi, emang Abel ini lebih suka bikin Ayah khawatir dibanding Ninda. Padahal, dia anak sulung."

"Tapi, Kak Abel itu mandiri, Yah," balas Agam membela Abel. "Malahan, Agam pernah ngambek sama Kak Abel gara-gara terlalu mandiri. Apa-apa suka dipendam sendiri."

"Oh itu. Iya, Abel kadang begitu. Tapi, pada dasarnya, kalau kamu memperhatikan lagi lebih dekat, Abel suka dimanja. Kamu nggak perlu ngelakuin yang susah-susah. Misal, dibikinin kue brownies aja, dia pasti udah senang bukan main."

Agam mengerutkan bibir. "Kalau sama Agam, Kak Abel lebih suka merhatiin daripada diperhatiin, Yah."

"Karena dia anak sulung, jadinya dia merasa harus selalu merhatiin orang-orang terdekatnya." Ayah Abel tersenyum sambil menepuk lutut Agam. "Ayah harap, kamu jangan ngambek sama Abel karena ini lagi, ya. Kamu juga bisa balas perhatian sama Abel. Nggak ada orang yang nggak suka diperhatikan."

No Strings AttachedWhere stories live. Discover now