13

8.5K 733 20
                                    

Agam menatap ponsel baru yang dibelikan oleh Abel. Warnanya hitam, sudah tidak ada tombol ikon di depan layar seperti ponsel lamanya, layarnya jernih dan yang paling penting, microphone ponselnya tidak rusak. Ia melirik Abel yang menggandengnya meninggalkan konter tempat mereka membeli ponsel baru untuk Agam. Abel kelihatan puas karena membelikan hadiah untuknya.

Mereka berjalan memutari Mal Central yang letaknya sekitar tiga puluh menit naik taksi dari rumah Abel. Berdekatan dengan Rumah Sakit Umum Parama. Mal sudah mulai ramai dipenuhi orang-orang yang mungkin sedang cuci mata di akhir pekan ini.

"Kak Abel," panggil Agam pelan membuat Abel meliriknya sekilas.

"Hm?"

"Makasih ya?" ucapnya sungguh-sungguh dengan wajah terharu.

"Udah ah, Gam! Kamu mau terima kasih berapa kali?" sahut Abel sambil tertawa pelan.

Mereka baru meninggalkan konter sekitar sepuluh langkah, tetapi Agam sudah berterima kasih kepadanya sebanyak lima kali. Agam mengerucutkan bibirnya sejenak, tetapi mengulum senyum saat melihat wajah senang Abel. Seolah, Abel yang dibelikan ponsel, bukan dirinya.

"Kita ke pasar sebelah ya, Gam? Beli buahnya di situ aja. Lebih banyak pilihannya," kata Abel yang diangguki Agam. "Ini nggak usah dijus dulu, buahnya? Biar lebih gampang dicerna sama Nenek?"

"Nenek suka langsung makan aja. Katanya kalau dijus agak jijik," jelas Agam memberi tahu.

Abel mangut-mangut, keluar dari Mal Central menuju pasar tradisional di sebelahnya. Lalu, Abel membeli buah apel dan buah pir, karena buah jeruk yang ia temukan di pasar kelihatan kurang segar. Setelahnya, mereka berjalan menuju Rumah Sakit Umum Parama selama sepuluh menit dan masuk ke dalam ruang rawat Marsiah yang sedang menonton televisi di ruangannya.

Ruang rawat Marsiah cukup besar, punya ranjang empuk yang dapat diatur kemiringannya, dengan nakas di sebelah ranjang. Ada televisi dan kamar mandi juga di sana. Lalu, ada sofa yang Abel tebak biasa digunakan Agam untuk tidur jika menginap, karena ia melihat bantal dan selimut terlipat rapi di sana.

"Nenek." Agam mendekati neneknya, membuat tatapan Marsiah beralih dari televisi menuju Agam.

Perempuan renta itu tersenyum, melirik Abel yang berdiri di belakang Agam dengan mata berbinar ingin tahu.

"Agam bawa Kak Abel," kata Agam pelan, sedikit malu-malu.

Ia memutar kepalanya, menatap Abel yang melangkah mendekat ke ranjang. Perempuan berkulit cokelat eksotis itu langsung memamerkan lesung pipinya yang manis.

"Salam kenal, Nek. Aku Abel," ujar Abel memperkenalkan diri dengan nada hangat.

"Ah, ini yang bikin Agam senyum-senyum sendiri?" Marsiah memamerkan giginya, menyeringai jahil sambil menikmati reaksi salah tingkah cucunya.

Lesung pipi Abel kelihatan semakin dalam usai mendengar ucapan Marsiah. Matanya melirik Agam yang merona, berdeham kecil sambil mengangguk.

"Aku ngajak Agam supaya jenguk Nenek. Soalnya kemarin dia ke nggak ke rumah sakit buat jagain Nenek," kata Abel. "Nanti, Nenek kesepian kalau Agamnya malah sama aku."

"Ah, nggak! Namanya anak muda pasti mau punya waktu berduaan!" sanggah Marsiah dengan senyum manis. "Duduk, Bel. Jangan berdiri terus, capek."

"Iya, Nek." Abel menurut, duduk di kursi penjenguk yang disodorkan oleh Agam. Ia menggumamkan terima kasih kepada Agam dengan nada rendah sebelum duduk dan membuka kantung plastik berisi buahnya. "Aku bawa buah, Nek. Kata Agam, Nenek suka buah apel."

"Nenek suka semuanya." Ia mengamati wajah Abel lekat dengan senyum tak pernah lepas dari bibir.

"Biar Agam cuci dulu buahnya, sama ambilin pisau dari dapur."

Abel mengangguk, membiarkan Agam mengambil buah yang ia belikan. Lelaki itu meninggalkan mereka berdua di ruang rawat. Sementara Agam mencuci buah, Marsiah terus-terusan mengamati Abel dengan wajah berseri.

"Usiamu berapa, Bel?" tanyanya lembut.

"26 tahun, Nek."

Marsiah mangut-mangut walau ia sudah tahu usia Abel lewat cerita Agam. Mungkin, Marsiah sudah tahu semua tentang Abel karena yang diceritakan Agam saat bertemu dengannya hanyalah Abel seorang.

"Mau menikah dalam waktu dekat?" tanya Marsiah membuat Abel menatapnya dengan senyum tipis.

Perempuan itu menggeleng kecil. "Masih fokus karir, Nek."

Marsiah mengangguk paham. "Iya. Agam juga belum stabil ekonominya."

Abel tidak menyahut, hanya mengamati raut wajah Marsiah yang berubah agak khawatir saat selesai bicara.

"Agam itu masih polos, kadang pikirannya sederhana sekali. Anaknya juga nggak neko-neko, sekali bilang A, ya sudah pasti A," cerita Marsiah sambil menatap Abel lekat.

Ya, Abel tahu hal itu. Agam benar-benar sederhana. Sekali dapat satu tujuan, maka tujuannya tidak akan berubah. Itu adalah alasan Agam begitu kekeuh mendekatinya. Kalau urusan polos... Abel tidak bisa berkomentar. Ialah yang membuat pemuda itu jadi tidak polos lagi.

"Cucu Nenek ganteng nggak, kalau menurut Abel?" tanya Marsiah membuat Abel tersenyum simpul.

"Kalau nggak ganteng, mana mungkin jadi model, Nek," balas Abel manis.

Marsiah tertawa pelan. "Syukurlah kalau kamu mikir gitu. Soalnya, Nenek yakin kamu pasti sudah pernah ketemu yang lebih segalanya dari Agam."

Yang lebih segalanya dari Agam. Aaron. Lelaki itu memang lebih dalam segala hal kalau dibandingkan dengan Agam. Namun, Abel tidak pernah mau membandingkan mereka. Agam beda dari Aaron. Hatinya tulus, hanya tertuju pada Abel. Mana bisa dibandingkan dengan Aaron, yang walau hampir sempurna, tetapi tidak punya perasaan sedikit pun untuknya.

"Kamu cantik, Bel. Nenek bisa lihat, kamu perempuan mandiri yang serba bisa. Mungkin, sewaktu-waktu kamu akan meninggalkan Agam kalau merasa cucunya Nenek tidak cocok buatmu," tutur Marsiah membuat Abel hanya bisa diam. Yah, sebenarnya Abel juga sejak awal sudah pesimis pada Agam karena masalah ekonomi.

Mau dibilang materialistis, tetapi hidup ini 'kan, bukan hanya soal cinta. Ada kebutuhan sehari-hari yang harus dibeli, dana darurat yang harus disiapkan, dan berbagai hal lain yang butuh uang. Abel hanya menerima Agam mendekatinya karena butuh teman saja, supaya tak kesepian. Penuturan Marsiah diam-diam membuat Abel merasa bersalah.

"Terlepas gimana kalian di masa depan nanti, Nenek cuma minta supaya Abel nggak menyakiti hati Agam, ya?" Marsiah tersenyum hangat. "Masalah putus itu hal biasa, tapi lebih bagus kalau kalian bisa sama-sama terus. Nenek nggak pernah lihat Agam kesengsem begini sama perempuan selain kamu. Jadi, harapan Nenek cuma supaya kamu sama Agam nggak saling menyakiti."

Abel mengangguk, tidak bisa berkata jika dirinya tidak bisa janji pada Marsiah. Ia tidak ada niatan menyakiti Agam, tetapi hidup ini tidak ada yang tahu bagaimana ke depannya. Apalagi, Abel sadar betul ketertarikannya pada Agam itu sangat dangkal.

"Baguslah, Bel." Marsiah mengulurkan tangannya dan menggenggam tangan Abel lembut. "Bantu Nenek jaga Agam, ya? Nenek pastikan, Agam juga pasti jaga kamu sebagaimana mestinya laki-laki menjaga perempuan yang ia cinta."

Abel mengangguk lagi, tetapi dalam hati bertanya-tanya apa boleh ia mengiyakan hal ini? Hatinya saja masih abu-abu!

Mungkin, menemui Marsiah sekarang adalah kesalahan. Mungkin, Abel harusnya menemui Marsiah nanti jika hatinya sudah jelas. Namun, nasi telanjur jadi bubur. Abel telanjur bertemu Marsiah dan mengucap sepakat pada permintaan kecilnya.

Permintaan sederhana, tetapi mungkin agak sulit diwujudkan.

Agam kembali dari dapur sambil membawa pisau dan buah-buahan. Matanya menatap tangan Marsiah yang menggenggam tangan Abel.

"Agam lama ya?" tanyanya sambil tersenyum. "Nenek sama Kak Abel ngomongin apa?"

"Anak kecil nggak boleh kepo!" sahut Marsiah meledek, membuat Agam merengut kecil.

Tawa Abel lepas melihat tingkah menggemaskan Agam. Sementara, lelaki itu merengek ingin tahu pembicaraan mereka, tetapi tidak pernah mendapat jawaban atas keingintahuannya.

Walau Abel sekarang dibebani janji untuk menjaga dan tidak menyakiti Agam, setidaknya ia masih bisa tertawa untuk saat ini. Karena nanti, tidak ada yang tahu siapa yang akan menangis di antara mereka berdua.

No Strings AttachedWhere stories live. Discover now