14

8.1K 708 34
                                    

Agam tidak tahu sudah berapa lama waktu berlalu. Mungkin dua bulan? Atau sudah mendekati tiga bulan? Sepertinya tiga bulan sejak ia memutuskan untuk mulai mendekati Abel. Namun, hubungan mereka terus berhenti di titik yang sama. Tidak ada kemajuan sama sekali rasanya.

Atau Agam saja yang tidak sabaran?

Abel masih sesantai biasanya. Tidak ada aura merah muda atau senyum malu darinya saat menatap mata Agam. Walau sikapnya hangat dan senyumnya selalu manis, Agam tidak merasakan tanda-tanda jatuh cinta dari Abel.

Apakah itu dikarenakan usia Abel yang lebih tua dua tahun darinya? Abel begitu tenang dan santai menghadapi segala sesuatu. Jarang sekali Agam melihat Abel emosi di depannya. Satu-satunya emosi yang Abel tampilkan hanya rasa senang atau kesal yang konteksnya bercanda.

Agam jadi resah. Kenapa Abel tidak pernah menunjukkan yang perasaan yang lebih kompleks? Apakah karena ia merasa Agam tidak akan paham? Apakah ia merasa Agam seperti anak kecil? Atau, ia hanya belum mau terbuka padanya?

Padahal, Agam sangat terbuka soal emosinya kepada Abel. Mau itu sedih, senang, kecewa atau tak suka pada suatu hal, semuanya dengan jujur ia utarakan kepada perempuan itu. Namun, Agam tidak pernah mendengar Abel mengeluh kepadanya. Atau sekedar bercerita jika harinya buruk. Abel menyimpan semuanya sendiri dan hanya menunjukkan yang menyenangkan kepada Agam.

"Kak Abel," panggil Agam, menatap Abel yang menatap layar laptopnya dengan wajah datar.

"Kenapa, Gam?" jawab Abel lembut tanpa balas menatap Agam.

Kemarin, Agam tak sengaja mendengar percakapan Abel dengan atasannya di telepon. Ia tidak mendengar lengkap, tetapi sepertinya Abel sedang kesulitan dengan target kerjanya. Gara-gara hal itu, Abel sampai membawa pulang pekerjaannya.

"Kak Abel capek nggak? Atau pegel? Mau Agam pijitin?" tawar Agam, berharap jika Abel mau meminta bantuannya.

Sedikit saja, ia ingin Abel memintanya melakukan sesuatu. Ia ingin Abel minta bantuannya untuk apa saja, karena Abel tidak pernah melakukannya. Bukannya Agam suka disusahkan, tetapi ia merasa sedih dan kecewa karena Abel seolah tidak membutuhkan hadirnya.

"Nggak apa-apa. Kamu bosen ya? Bentar ya, Gam. Dikit lagi kelar, kok," balas Abel, memberikan senyum hangat.

Agam selalu suka senyum hangat Abel, tetapi ia merasa kecewa saat mendapat balasan seakan Abel tidak mengharapkan apa-apa darinya. Padahal, Agam selalu bercerita pada Abel soal harinya, mau itu baik atau buruk. Ia selalu membiarkan Abel merengkuh sisi lemahnya dan memuji sisi kuatnya. Kenapa Abel tidak melakukan hal yang sama?

Mata Agam meredup. Ia menatap Abel yang berusaha menyelesaikan pekerjaannya sesegera mungkin. Ia tidak masalah diangguri Abel, yang penting ia bersamanya. Masalahnya, ia ingin menjadi berguna untuk perempuannya.

"Agam nggak berguna ya, di mata Kak Abel?" tanya Agam pelan membuat wajah Abel berubah bingung dan penuh tanya.

"Kok kamu mikir gitu, Gam?" Wajah Abel tak bisa menyembunyikan keheranannya.

Tentu saja heran. Kenapa tiba-tiba pemuda itu menanyakan hal yang tidak terbersit di kepala Abel sekali pun?

"Agam selalu cerita soal kebahagiaan, kesedihan, atau kekecewaan Agam. Semuanya. Tapi, Kak Abel nggak pernah melakukan hal yang sama. Apa Kak Abel ngerasa Agam nggak berguna, makanya nggak mau cerita?"

Raut wajah pemuda itu benar-benar kecewa, membuat Abel mengerjap terkejut.

"Bukan gitu, Agam. Aku cuma nggak mau membebani kamu sama masalahku."

"Berarti, Agam emang nggak berguna, 'kan? Makanya Kak Abel nggak pernah mau cerita?" tuntut Agam membuat Abel mengerutkan kening, sedikit jengkel, tapi mencoba menahan diri.

No Strings AttachedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang