48

7.8K 678 32
                                    

Agam bilang, ia ingin membicarakan sesuatu kepada Abel. Namun, lelaki itu tidak kunjung menyuarakan yang ingin ia ungkapkan. Malah, ia melakukan hal yang lain, memasak untuk Abel, memberikan kejutan kecil berupa sebuket bunga mawar, dan juga mendekorasi kamar Abel dengan lilin aroma terapi dan kelopak mawar di ranjang. Lalu, lelaki itu menyerang Abel, mencumbunya sampai tubuhnya gemetaran.

"Gam... " Abel mengerang saat Agam menggigiti dadanya, sementara ia bergerak dengan lembut untuk memanjakan tubuh Abel.

"Sebentar- hhh! Sebentar lagi!" pinta Agam, mengerti jika Abel ingin memintanya berhenti.

Abel mendesah pelan, memejamkan matanya sambil menikmati kehangatan tubuh Agam yang menyelimutinya. Agam selalu begini, selalu membuatnya kacau walau ia tidak bersikap kasar. Tubuh Abel mengejang saat puncaknya datang. Sementara Agam berulang kali mendesahkan namanya, menikmati setiap detiknya menyatu dengan Abel.

Napas Abel terengah. Lengannya masih melingkar di leher Agam, masih mencoba mencerna kenikmatan yang menyebar ke seluruh tubuhnya. Matanya yang berkabut menatap Agam yang memasang wajah puas. Lelakinya juga sama terengahnya. Agam tersenyum saat tatapan mereka bertemu, mengelus lembut wajah Abel yang bersemu dan mengecup keningnya.

"Capek?" bisiknya lembut, menanyakan keadaan Abel yang dibalas dengan gelengan lemas. Agam mengecup bibir Abel sambil bertanya lagi. "Sakit, nggak?"

"Nggak, Agam," bisik Abel pelan.

Agam berhenti bicara, menatap wajah Abel lekat penuh kasih sayang. Perempuan yang berada dalam dekapannya, segera akan menjadi istrinya. Agam akan sepenuhnya menjadi milik Abel, secara hukum dan agama. Mereka akan menghabiskan waktu yang lama bersama dengan anak-anak mereka. Agam menyeringai senang saat ia membayangkan hal itu.

"Kak Abel mau berapa anak?" tanya Agam, membuat Abel yang napasnya perlahan teratur menatapnya heran.

"Aku mau punya berapa anak?" balas Abel bertanya, memastikan pertanyaan Agam. Lelaki itu mengangguk sebagai respon. Abel menjawab pertanyaannya.  "Aku mau dua anak aja. Tiga kebanyakan. Emangnya, kamu mau berapa anak?"

"Sama kayak Kak Abel," jawab Agam sambil tersenyum manis. Ia melepaskan tubuh mereka yang masih menyatu, membuat Abel mendesah pelan.

Agam merebahkan dirinya di sebelah Abel sebentar, menarik perempuan itu dalam pelukannya sambil beristirahat sejenak sebelum membersihkan diri bersama dengan Abel. Mereka membersihkan kekacauan yang mereka buat bersama, lalu beranjak ke ranjang untuk tidur saat Agam berlutut di sisi ranjang sambil memegang tangan Abel yang duduk di ranjang.

"Kenapa, Gam?" tanya Abel halus, mengelus pipi Agam dengan tangan kanannya.

Agam meraih tangan kanan Abel, tanpa kata melepaskan cincin yang ia hadiahkan pada Abel lima tahun lalu dan meletakkannya di nakas.

"Jangan pakai cincin ini lagi," kata Agam lembut, membuka laci nakas Abel dan mengeluarkan sebuah kotak beludru hitam yang tak pernah Abel lihat.

Agam membukanya, menunjukkan cincin berlian perak yang tidak terlalu besar ukuran berliannya kepada Abel. Ia tersenyum dengan manis, menatap Abel yang menutup mulutnya dengan satu tangan. Abel menatap Agam yang masih berlutut dengan hati menghangat.

"Agam memang mau datang ke rumah Kak Abel buat melamar Kak Abel, tapi sebelum itu Agam mau melamar Kak Abel secara pribadi." Ia menatap wajah Abel lekat dengan mata berkaca-kaca. "Kak Abel, Agam bukan laki-laki romantis. Agam cuma laki-laki yang mau menghabiskan seumur hidupnya sama Kak Abel. Maunya, Agam lamar Kak Abel di restoran bintang lima, tapi Agam takut Kak Abel nggak nyaman kalau ada paparazi. Agam akhirnya memberanikan diri buat ngelamar Kak Abel dengan cara ini."

Suara Agam bergetar saat ia bicara. Agam tahu Abel akan menerima pinangannya, tetapi ia tetap merasa tak tenang sampai persetujuan keluar dari bibir Abel. Jantungnya berdetak kencang saat ia melihat wajah Abel yang terkejut. Rasanya seperti saat pertama kali ia jatuh cinta pada Abel.

Agam kembali bersuara lagi dengan suara yang masih bergetar. "Kak Abel mau nggak nikah sama Agam?"

Ini bukan lamaran romantis seperti di drama-drama yang Abel tonton. Lamaran yang Agam lakukan tidak seperti yang Abel bayangkan. Lelaki itu melamar mereka di kamarnya, tepat setelah mereka selesai bercumbu panas di ranjang yang Abel duduki saat ini. Namun, semua itu rasanya bukan masalah. Setiap detik yang Abel habiskan bersama Agam selalu romantis dan penuh kehangatan.

Ia meneteskan air mata penuh haru sambil mengangguk. "Iya, Gam. Aku mau jadi istrimu."

Agam juga ikut meneteskan air matanya. Ia tersenyum bahagia, meraih cincin dari kotak beludru dan memasangkannya ke jari manis Abel. Cincin itu menggantikan cincin couple yang Agam berikan pada Abel, berkilau indah di jarinya. Abel menangis terharu saat ia melihat cincin berlian yang Agam pasangkan ke jari manisnya, membuat Agam bangkit untuk memeluknya hangat.

Ia tidak pernah menyangka jika ia akan bersama dengan Agam. Walau Abel mengharapkan hal itu selama lima tahun terakhir, tetapi ia juga berusaha memupuskan harapan itu agar ia tak kecewa. Abel sudah pesimis jika mereka tak akan pernah bisa bersama lagi. Ia sudah merelakan jika seandainya Agam memilih perempuan lain yang lebih baik darinya.

Namun, Agam kembali ke pelukannya, menjadi Agam dengan versi yang lebih baik, sedikit lebih agresif -tetapi Abel tak masalah- dan masih mencintai Abel seperti dahulu. Mereka sama-sama menanti, sama-sama saling mencintai selama penantian itu dan akhirnya, mereka bersatu lagi. Kali ini, dengan janji untuk mengikat hubungan mereka menjadi sebuah komitmen seumur hidup.

"Ini yang mau kamu omongin ke aku, Gam?" bisik Abel parau saat tangisnya reda, masih memeluk Agam erat.

Agam mengangguk dalam pelukan Abel. "Agam bingung, khawatir juga kalau Kak Abel nggak suka dilamar begini..."

Abel tertawa dengan air mata masih menggenak di pelupuk mata. Ia terharu, tapi juga gemas pada Agam. Ternyata, Agam tidak sepenuhnya berubah. Agam masih menggemaskan, hanya tertutup wajah dewasa dan keagresifannya saja.

"Gam, mau kamu lamar aku cuma pakai cincin kertas pun, aku nggak akan ragu terima lamaranmu," bisik Abel, membuat Agam tersenyum bahagia.

"Itu 'kan, karena Kak Abel tahu Agam udah mapan dan udah bisa jadi kepala keluarga yang pantas buat Kak Abel," ujarnya lucu.

"Iya, itu juga termasuk salah satu bahan pertimbanganku, Agam," balas Abel sambil terkekeh. "Tapi, kalaupun ternyata kamu datang kepadaku dalam keadaan kembali kayak dulu, aku tetap mau terima kamu."

Abel melepaskan pelukannya dari Agam, menggenggam tangan Agam erat dan menatap wajahnya lekat.

"Berpisah dari kamu adalah keputusan yang paling buruk yang pernah aku buat," kata Abel mengakui kesalahannya lima tahun lalu. "Tapi, karena hal itu, aku sadar betapa berartinya kamu buatku. Ternyata bener ya, kita baru tahu sesuatu itu berharga setelah kehilangan."

Agam mengulum senyumnya, mengecup punggung tangan Abel sayang. "Kalau gitu, jangan pernah minta pisah lagi sama Agam, ya? Mau sesulit apa pun, kita hadapi berdua."

Abel mengangguk, melepaskan genggamannya dan meraih wajah Agam, lalu mengecup bibirnya berkali-kali dengan penuh cinta. "Nggak akan, Gam. Kamu yang harusnya ketar-ketir, soalnya kamu udah nggak bisa berubah pikiran lagi begitu aku terima lamaranmu tadi."

"Kenapa harus ketar-ketir?" balas Agam sambil tersenyum lebar. "Menikahi Kak Abel adalah tujuan Agam sejak kita pertama kali bertemu."

Abel mendengkus geli, sementara Agam terkekeh. Malam itu, akhirnya cincin couple yang Abel gunakan selama lima tahun berganti menjadi cincin berlian. Pemberinya adalah lelaki yang sama. Lelaki yang ia renggut kali pertamanya. Lelaki yang jatuh bangun memantaskan dirinya untuk seorang Arabella Luda, dan lelaki yang Abel cintai sepenuh hati, Agam Pangestu.

No Strings AttachedWhere stories live. Discover now