44

8.7K 733 37
                                    

Abel bangun lebih awal pagi, ah bukan. Siang hari itu, Abel bangun lebih awal. Jam digital di nakasnya menunjukkan pukul sebelas lewat empat puluh menit. Ia merenggangkan tubuhnya yang pegal, sedikit terkesiap saat merasakan bagian pinggang dan selangkangannya sakit. Matanya melirik ke arah Agam yang terlelap di sampingnya, meringkuk menghadap kepada Abel.

Agam masih tidak mengenakan pakaiannya, hanya dibalut selimut sampai ke pinggang. Sedang tidur pun, Agam masih kelihatan tampan. Posisinya saja seakan kelihatan sedang berpose. Padahal, lelaki itu masih terlelap dalam mimpi.

Secara otomatis, tangannya terulur untuk membelai rambut Agam yang berantakan. Sudut bibir Abel sedikit terangkat saat merasakan rambut Agam yang lembut. Beda sekali dengan dulu, sewaktu rambutnya kering dan rusak karena di-bleaching. Agam tidak pernah mewarnai rambutnya lagi sejak saat itu. Jari Abel turun, kini berganti menyentuh wajah Agam hati-hati.

Ia menghela napas, gemas ingin mencubit pipi Agam yang tertidur. Bagaimana tidak gemas, Agam mengelabuinya, berpura-pura sakit supaya dibiarkan tinggal di sini dan malamnya langsung menyerang Abel gila-gilaan. Abel bukan perempuan bodoh, ia langsung tahu mantan pacarnya selingkuh hanya sekali lihat. Ia juga langsung tahu jika Aaron tidak mencintainya saat mereka masih berpacaran dulu. Ia menyadari semuanya. Namun, yang jadi masalah, Abel kadang suka menolak kenyataan itu.

Untuk Agam, ceritanya lain lagi. Abel memang sempat curiga jika lelaki itu berbohong, tetapi ia tak tega melihat wajah memelas Agam. Apalagi, tatapannya yang kelihatan meminta supaya Abel menolongnya. Juga, salahkan cinta yang masih betah berdiam di hati Abel, sampai-sampai ia percaya begitu saja pada Agam yang mengelabuinya.

Kelopak mata Agam bergerak perlahan, sementara  tangan lelaki itu terulur untuk menarik Abel dalam pelukannya. Tanpa membuka mata, Agam menenggelamkan wajahnya ke lekukan leher Abel dengan manja seraya mengeratkan pelukannya.

"Kok udah bangun?" gumam Agam berat dengan suara parau khas baru bangunnya.

Abel sudah lama tidak mendengar suara Agam yang seperti ini. Ia mengelus rambut Agam lagi, membuat lelaki itu semakin menempelkan tubuh mereka, sementara bibirnya mengecup lekukan lehernya sekilas.

"Udah siang, Agam," balas Abel seakan sedang mengomel, tetapi nadanya masih lembut. "Lepasin dulu, aku mau masak sama beres-beres."

"Lima menit lagi," pintanya, melingkarkan kakinya juga ke tubuh Abel supaya perempuan itu tidak bisa ke mana-mana.

"Ih, ya ampun!" gerutu Abel pelan, tetapi tidak meronta minta dilepaskan.

Agam terkekeh pelan dengan serak, mengecup leher Abel lagi dengan manis. Syukurnya, Abel semalam masih sanggup untuk membersihkan diri dan berpakaian lagi walau lemas dan harus dibantu Agam. Ia harus tetap berpakaian lengkap, karena kalau tidak, Agam akan menyerangnya lagi dengan lebih muda. Walau sebenarnya hasilnya sama saja, setidaknya Abel melakukan sesuatu untuk mencegah Agam.

"Kak Abel," panggil Agam lirih dengan nada manja.

"Hm?" gumam Abel menjawab.

"Balik sama Agam lagi ya?" pintanya halus, menjauhkan wajahnya dari leher Abel, lalu meraih tangan kanan Abel. "Kak Abel, 'kan, masih sayang Agam."

Ia menautkan jari mereka, menunjukkan cincin yang melingkar di jari manis Abel supaya perempuan itu tahu jika Agam menyadari perasaannya. Agam menatap mata Abel lekat, menunggu jawabannya. Bahkan, meski Abel menolak, lelaki itu tetap akan mendesaknya supaya kembali ke pelukannya. Raut Abel melembut, kelihatan sendu saat ia memberi senyum tipis kepada lelaki itu.

"Kamu 'kan, masih di puncak karir, Gam."

"Terus kenapa?"

"Kalau sama aku, kamu bisa aja kehilangan popularitas kamu. Aku nggak mau buat kamu susah kayak waktu itu."

No Strings AttachedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang