32

6K 589 62
                                    

Agam tidak mengabari Abel sampai keesokan harinya. Sepanjang hari, Abel dirundung gelisah. Mendengar Agam yang menyebut ingin memutus kontrak dengan agensinya, Abel jadi merasa bersalah. Bagaimana kalau Agam mendapat masalah karena hal itu? Bukan bagaimana lagi, Agam memang akan dapat masalah.

Dengan popularitasnya saat ini, ia memegang beberapa kontrak yang bekerja sama dengan merk-merk tertentu. Jika Agam memutuskan mundur dari dunia hiburan, tentu saja ada denda yang sangat besar yang harus dibayarnya. Tidak punya hutang saja, Agam sudah setengah mati bekerja untuk menghidupi dirinya dan neneknya. Apalagi kalau sampai punya hutang.

Abel lemas seharian ini, sudah khawatir memikirkan Agam, ditambah pula dengan risih ditanyai terus oleh nasabah yang penasaran dengan urusan pribadinya. Abel hanya bisa memasang senyum kaku, tidak mau menjawab walau dalam hati ingin memaki mereka semua. Sial, mana pernah Abel menyangka kesalahan satu malamnya bisa berbuntut panjang begini.

"Lo nggak apa-apa?" Bayu mendekat pada Abel, memberikan air mineral untuknya.

Abel tersenyum, mengucapkan terima kasih sambil menggeleng untuk mengkonfirmasi jika dirinya baik-baik saja. Namun, Bayu duduk di kursi kosong yang ada di sebelahnya, menghela napas sambil menepuk bahunya.

"Mata lo bengkak, muka lo pucet. Gue nggak pernah lihat lo sekusut ini setelah putus dari mantan lo yang sebelumnya," kata Bayu membuat Abel kembali tersenyum.

Bayu tahu sedikit tentang kisah cintanya, juga tahu jika ia mengencani Agam. Sesekali, Abel sedikit bercerita pada Bayu saat hanya ada mereka berdua saja. Bayu adalah rekan terdekatnya saat ini sejak Fani pindah. Dulunya, sebelum pacaran dengan Agam, Abel akan menghabiskan malam minggunya dengan Bayu dan Fani. Sampai ia akhirnya bertemu Agam dan mereka tidak pernah lagi bermain bertiga.

"Lo beneran nggak apa-apa, 'kan?" tanya Bayu lagi dengan nada khawatir, menunjukkan kepeduliannya.

"Gue nggak apa-apa. Beneran."

"Gue khawatir. Pasti nggak enak banget dikepoin sama nasabah-nasabah yang kadang suka ketus ke lo."

Abel tak menyahut, tetapi mengiyakan ucapan Bayu dalam hati. Ia benar-benar kesal diganggu oleh nasabah-nasabahnya, tetapi apa boleh buat. Ia juga tak harus menjawab keingintahuan mereka. Itu urusan pribadinya. Ponselnya yang diletakkan di atas meja bergetar. Nama Aidan muncul di layarnya, membuat Abel mengerutkan kening.

Perempuan itu segera meraih ponselnya, memutuskan keluar dari ruang marketing menuju toilet untuk menjawab telepon Aidan. Abel yakin, Aidan akan memintanya bertemu.

"Halo?"

"Bel. Sibuk?"

"Sibuk."

"Pulang kerja jam berapa? Bisa ketemu? Gue jemput deh." Suara Aidan kedengaran tak sabar.

"Jam lima," jawab Abel dengan nada datar. "Kenapa? Agam?"

"Iya. Gue mau ngomongin soal dia."

Tentu saja Abel sudah bisa menebaknya. Agam pasti membuat Aidan pusing.

"Oke," ujar Abel pelan, menyetujui.

"Gue langsung nunggu di depan kantor lo. Mobil gue platnya 2767 ya."

"Oke."

Sambungan telepon terputus. Abel kembali ke ruang marketing, melanjutkan pekerjaannya walau dalam hati bertanya-tanya apa yang membuat Aidan meneleponnya. Abel hampir tidak bisa fokus sampai jam kerjanya berakhir. Untunglah ia menyelesaikan pekerjaannya tanpa hambatan apa pun.

Aidan menjemputnya tepat pukul lima sore. Mungkin lelaki itu sudah menunggu di sana lebih lama. Ia membawa Abel ke Marina Cuisine, restoran kalangan orang kaya seperti Aidan. Abel tidak mengatakan apa-apa saat diajak masuk ke dalam. Mereka duduk di salah satu kursi VIP dengan pemandangan sungai.

No Strings AttachedWhere stories live. Discover now