18

7.5K 648 78
                                    

"Kamu nggak apa-apa bolak-balik rumahku sama rumah sakit? Istirahat aja, Gam. Aku bisa sendiri kok," kata Abel yang tak enak melihat Agam datang lagi ke rumahnya malam ini.

Abel sudah sembuh, demamnya turun, dan sudah tidak batuk lagi. Ia tidak tahu apa karena humidfier yang Miu berikan, atau obat flunya. Yang jelas, ia sudah lebih sehat hari ini. Malah, Abel sibuk mencari pakaian yang akan dikenakannya untuk datang ke acara pernikahan Aaron hari Sabtu besok.

Ya, karena suasana hatinya baik dan Abel juga sudah memutuskan untuk berdamai dengan Aaron yang segera jadi calon tetangganya, ia memutuskan untuk datang. Agam memandangi Abel yang masih agak pucat, tetapi sudah lebih lincah dibandingkan dengan dirinya kemarin. Perempuan itu meraih sebuah terusan dari Valentino berwarna pink pucat dengan motif bunga-bunga yang ia beli dengan gaji pertamanya. Melihatnya saja, Agam langsung membayangkan bagaimana cantiknya Abel ketika mengenakan terusan itu.

"Itu cantik, Kak," puji Agam sambil menatap Abel.

"Kayaknya terlalu mencolok," gumam Abel, menyimpan terusan itu kembali dan memilih terusan lain warna merah berlengan pendek dan memiliki belahan dada yang agak rendah.

Saat mengambil terusan itu, Abel tanpa sengaja menjatuhkan pouch kecil berwarna abu-abu yang terbuka. Isinya tidak banyak, tetapi keluar dari pouch. Agam menunduk, memunguti isinya yang berupa sesuatu mirip cincin tapi bentuknya ikan paus. Warnanya biru muda, dari bahan silikon dan kelihatannya seperti mainan anak-anak. Ada tombol power kecil di sisi kirinya.

"Ini apa Kak Abel?" tanya Agam, iseng menekan tombol power-nya karena mengira benda itu adalah lampu.

Lampu benda itu menyala, tetapi benda itu bukan lampu. Ikan paus yang mirip mainan itu bergetar di tangan Agam, membuat lelaki itu membeku. Tubuh Agam rasanya jadi batu. Matanya memandangi ikan paus mainan itu dengan tatapan kosong.

Ikan paus itu bukan lampu, bukan juga mainan anak-anak. Itu mainan perempuan dewasa, lebih tepatnya adalah vibrator. Wajah Agam langsung terbakar, berubah warna jadi merah padam. Makanya Marsiah Pangestu sering berkata pada Agam supaya jangan iseng dengan barang orang lain. Agam biasanya tidak iseng, tetapi karena sudah merasa dekat dengan Abel, Agam jadi dengan bebas menunjukkan keisengannya pada perempuan itu walau tidak secara berlebihan.

Perlahan, mata Agam terangkat, mencari-cari mata Abel yang berkilat jenaka. Bibirnya mengulum senyum geli, meletakkan terusannya ke lemari dan menutup pintunya santai. Ia berjongkok, meraih vibratornya yang masih menyala di tangan Agam dan mematikannya.

"Ka-Kak Abel... itu... itu..." Agam tidak bisa melanjutkan ucapannya. Ia terbata, semakin merah padam saat bertatapan langsung dengan mata Abel.

Sekelebatan kenangan tentang kali pertama mereka saling menghangatkan tubuh satu sama lain melintas di kepala Agam. Kaki Agam lemas rasanya.

"Vibrator. Lucu, 'kan?" ujar Abel santai, memasangnya di jari tengah dan memamerkannya kepada Agam. "Aku punya satu lagi, yang bentuknya normal."

Tidak, Agam tidak bermaksud menggeledah privasi Abel. Niatnya hanya ingin membantu Abel mengambil barangnya yang jatuh dan penasaran karena bentuknya seperti ikan paus. Abel tertawa kecil, menyimpan kembali vibratornya ke dalam pouch, lalu membawanya ke laci nakas. Abel menyimpannya di sana, membuat Agam menelan ludah.

"Kak Abel..." Agam terlalu terkejut untuk melanjutkan kalimatnya. Ucapannya menggantung di udara, sementara matanya masih menatap Abel lekat.

"Kenapa, Gam?" balas Abel halus, berbalik menatap Agam dengan senyum manis. Ia menutup laci nakasnya tanpa melihat, menunggu Agam melanjutkan bicaranya.

Agam masih berjongkok di depan lemari Abel, menatap perempuan itu dengan wajah merah. Abel menghempaskan bokongnya di ranjang, memanggil Agam lembut bagai memanggil anak kecil.

No Strings AttachedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang