43

9K 674 84
                                    

Agam tak bisa tidur. Ia berguling ke kiri dan ke kanan ranjangnya dengan resah. Abel membiarkannya menginap, tetapi ia tidur di kamar tamu, bukan kamar Abel seperti dulu. Hal itu membuat Agam resah. Ia pikir Abel masih menyayanginya, masih peduli sampai membiarkannya menginap, tapi kenapa ia tak dibiarkan tidur bersama dengannya?

Mata Agam melirik ke arah jam dinding. Pukul setengah satu dinihari. Agam beranjak bangkit dari ranjang, keluar dari kamarnya menuju kamar Abel dan mencoba membukanya dengan perlahan. Pintunya tak terbuka. Abel menguncinya.

Agam kemudian mengetuk pintunya pelan beberapa kali. Ia menunggu selama lima menit di depan pintu sampai Abel membukakan pintu dan keluar dari kamarnya dengan mata setengah terpejam.

"Kenapa Gam?" tanyanya dengan suara parau.

Abel masih setengah sadar, mengenakan gaun tidurnya yang berwarna merah marun dengan tali spageti yang panjangnya hanya sepaha. Gaun itu punya belahan dada yang rendah, sehingga Agam bisa melihat belahan dada Abel. Bahkan walau setengah sadar, Abel masih saja cantik dengan rambut sebahu yang berantakan, kulit cokelat eksotis yang halus, juga ditambah aroma sabunnya yang menggoda.

"Agam nggak bisa tidur," kata Agam pelan. "Boleh nggak, Agam tidur sama Kak Abel?"

Abel mengangguk, melangkah mundur untuk membuka pintu kamarnya dan membiarkan Agam masuk. Udara dingin dari AC yang Abel nyalakan menyapa Agam. Apa Abel tidur di ruangan sedingin ini hanya dengan menggunakan pakaian tipis?

Abel merebahkan diri kembali di ranjang, sementara Agam menutup pintu dan segera mengikutinya. Lelaki itu berbaring di sebelah Abel yang hampir kembali tertidur, mendekat padanya dan merebahkan kepalanya di dada Abel tanpa izin. Meski begitu, secara otomatis, Abel melingkarkan tangannya pada tubuh Agam.

Bukan karena Abel mengizinkan, karena ia masih terbiasa dengan posisi itu meski mereka sudah lima tahun berpisah. Kebiasaan lama sangat sulit dihilangkan. Selain itu, Abel juga masih setengah sadar. Matanya terpejam, ingin kembali tertidur sebenarnya.

Namun, pergerakan Agam di dadanya membuat Abel perlahan terbangun. Agam menciumi dadanya, perlahan naik menuju belahan dadanya dan menggigitnya lembut. Bibirnya juga mulai merembet menuju leher Abel dan hampir menjilatinya di sana kalau Abel tak menahan Agam.

Lelaki itu berhenti, menatap Abel lekat dengan wajah seriusnya. Agam mengenakan piyama miliknya sendiri yang tidak Abel kembalikan padanya, dan disimpan dalam lemarinya selama lima tahun. Agam sudah lupa tentang piyama itu saat putus dari Abel, tetapi ketika melihat Abel mengeluarkannya dari lemari, Agam langsung menyadari jika Abel tidak mengembalikan piyama itu padanya.

"Tidur, Gam!" tegur Abel.

Agam tidak menyahut, kembali merebahkan kepalanya ke dada Abel.

"Kondom yang tadi sebenarnya buat siapa?" tanya Agam pelan.

"Aaron."

Mendengar jawaban Abel, Agam langsung mengangkat kepalanya dan menatap Abel ganas. Aaron? Apa hubungan Aaron yang sudah beristri itu dengan Abel? Tangannya secara otomatis langsung mencari tangan Abel, mencengkeram keduanya erat dan menahannya di atas ranjang.

"Kenapa? Kenapa Kak Abel beliin kondom buat dia?" tanya Agam, terdengar hampir mendesis. Laki-laki itu kelihatan seperti ingin mencabiknya.

Abel menelan ludah. Harusnya, ia tidak membiarkan Agam masuk ke kamarnya. Sudah begini, Abel harus hati-hari memilah ucapannya.

"Lisnia nitip, Gam. Mereka berdua udah kayak nganggap aku aspri-nya," jawab Abel jujur. "Sama kayak Miu dan Rasen. Bentar lagi, aku mau diangkat jadi anak sama mereka."

Tatapan ganas Agam langsung lenyap, berganti dengan wajah bingung. Diangkat jadi anak? Abel? Alisnya bertaut heran.

"Kok gitu?"

No Strings AttachedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang